PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Masalah
Dalam dekade tahun ini di dunia pendidikan Indonesia banyak sekolah
–sekolah yang berupaya untuk meningkatkan kualitasnya dalam penyelenggaraan
pendidikan. Maka dari itu perlu adanya standarisasi yang direalisasikan dengan
diadakannya Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (R-SBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) .
Perbedaan dan keunggulan sekolah bertaraf internasional ini dibandingkan
dengan sekolah-sekolah yang lain memang jauh perbedaanya mulai dari bahasa
sehari-hari yang digunakan sampai jam mata pelajaran yang ditambah agar mampu
bersaing dengan pendidikan yang berkembang di kancah internasional .
Akan tetapi dalam prakteknya
penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) menyimpan
banyak masalah. Berbagai masalah itu, akan dipaparkan didalam isi makalah ini .
2.Rumusan Masalah
1. Banyak sekolah-sekolah RSBI yang masih belum
memenuhi kriteria?
2. Penyelenggaraan RSBI terkesan tidak konsisten?
KAJIAN
Latar Belakang RSBI dan SBI
1.
Pada tahun 90-an, banyak sekolah-sekolah yang didirikan oleh suatu yayasan
dengan menggunakan identitas internasional tetapi tidak jelas kualitas dan
standarnya;
2.
Banyak orang tua yang mampu secara ekonomi memilih menyekolahkan anaknya ke
Luar Negeri;
3.
Belum ada payung hukum yang mengatur penyeleng-garaan sekolah internasional;
4.
Perlunya membangun sekolah berkualitas sebagai pusat unggulan (center of
excellence) pendidikan;
5.
Atas fenomena di atas, Pemerintah mulai mengatur dan merintis sekolah bertaraf
internasional;
6.
Sebagai bangsa yang besar, Indonesia perlu pengakuan secara internasional
terhadap kualitas proses, dan hasil pendidikannya.
Dasar Hukum SBI
UU No. 20/2003 (Sistem Pendidikan Nasional) pasal 50 ayat 3,
yakni:“Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah menyelenggarakan sekurang kurangnya
satu satuan pendidikan pada semua jenjang
pendidikan untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang
bertaraf internasional”.
UU No. 32/2004 (Pemerintahan Daerah)
PP No.19/2005 (Standar Nasional Pendidikan)
PP No 38/2007 (Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota)
PP No. 48/2008 (Pendanaan Pendidikan)
PP No. 17/2010 (Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan)
Permendiknas No. 63/2009 (Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan)
Permendiknas No. 78/2009 (Penyelenggaraan SBI pada Jenjang
Pendidikan Dasar dan Menengah).
Definisi
Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan
yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan (8 standar)
dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju.
Tujuan
dari program ini adalah:
1.
Sebagai acuan mutu pendidikan untuk meningkatkan
kualitas dan daya saing baik di tingkat regional
maupun internasional.
2.
Peningkatan dan Pemerataan Mutu Pendidikan.
PROSES MENUJU SBI
1. Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang meliputi:
a. standar isi;
b. Standar proses;
c. Standar kompetensi lulusan;
d. Standar pendidik dan tenaga kependidikan;
e. Standar sarana dan prasarana;
f. Standar pengelolaan;
g. Standar pembiayaan; dan
h. Standar penilaian pendidikan
2. Sekolah yang
memenuhi standar minimal SNP diberikan pendampingan,
pembimbingan,penguatan, dalam bentuk
Rintisan SBI (RSBI)
PROGRAM DAN KEGIATAN MENUJU
SBI
1. Mempersiapkan kurikulum yang
mengacu pada kurikulum negara maju
2. Meningkatkan kualitas proses
pembelajaran
3. Melatih guru dalam
pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran
4. Meningkatkan kompetensi dan
kualifikasi guru
5. Mendapatkan pendampingan dari
Tenaga Ahli
6. Menjalin sister school
7. Meningkatkan kemampuan guru
dalam berbahasa internasional
8. Menerapkan Sistem Manajemen
Mutu (ISO)
9. Menyelenggarakan pelatihan
leadership untuk Kepala Sekolah
10.Melengkapi sarana sekolah
Permasalahan
Rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI), merupakan cikal bakal
persiapan menuju sekolah berstandar internasional. Sebuah terobosan edukasi
yang tentu patut mendapat apresiasi tersendiri. Namun apa daya, sepertinya
negeri ini memang kaya program namun kadang aplikasi di lapangan belumlah
seperti yang diharapkan. Berbagai keluhan serta pro dan kontra terus mengiringi
keberadaan RSBI yang dianggap berjalan amburadul. Alhasil, program ini seolah
hanya menjadi ajang komersialisasi.
Pada era
yang modern seperti saat ini pendidikan memang menjadi sebuah kebutuhan bagi
setiap orang terutama pendidikan yang bermutu apalagi sekarang ini banyak
sekali lembaga pendidikan yang mulai mengacu kepada sebuah program pendidikan
yang mampu bersaing di kancah internasional contohnya saja sekoalah standar
internasional (SBI) yang mana sekolah tersebut dapat dijadikan sebuah acuan
mutu untuk setiap sekolah dapat bersaing di kancah internasional dan tentunya
kita tahu bahwa untuk dapat bersaing dengan sekolah-sekolah internasional salah
satunya kita harus mampu berbahasa inggris dengan baik karena karena jika tidak
menguasainya kita tidak mungkin dapat bersaing dengan bangsa-bangsa yang lain
yang terus berpacu dalam bidang pendidikan.
Perbedaan
dan keunggulan sekolah bertaraf internasional ini dibandingkan dengan
sekolah-sekolah yang lain memang jauh perbedaanya mulai dari bahasa sehari-hari
yang digunakan sampai jam mata pelajaran yang ditambah agar mampu bersaing
dengan pendidikan yang berkembang di kancah internasional,namun disatu sisi
karena sering mementingkan peggunaan bahasa inggris dalam pembelajaran suatu
mata pelajaran bahasa indonesia seolah-olah mulai tersisihkan dari dalam sistem
pendidikan yang di indonesia dan mungkin suatu saat nanti mapel bahasa
indonesia yang notabenenya menjadi pelajaran wajib akan di hilangkan dari
proses pendidikan yang ada di indonesia saat ini.
Penyelenggaraan
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf
Internasional (SBI) menyimpan banyak masalah. Berbagai masalah itu, antara lain
siswa wajib mengikuti ujian untuk tiga kurikulum dan kebijakan terkait
penyelenggaraan RSBI dan SBI juga tidak konsisten.
Hal itu
terungkap dalam Sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Jakarta yang menguji
Mudjito dengan disertasi berjudul "Evaluasi Kebijakan Pendidikan Nasional
tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional untuk Pendidikan Dasar
dan Menengah", Rabu (2/6). Sidang untuk meraih gelar doktor program studi
Manajemen Pendidikan Itu dipimpin Rektor UNJ Bedjo Sujanto.
Penelitian
terhadap RSBI dan SBI itu dilakukan Mudjito yang juga Direktur Pendidikan TK
dan SD di Kemendiknas selama 2009. Objek penelitian terhadap sekolah di DKI
Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Alasan pengambilan lokasi karena
Jakarta adalah Ibu Kota yang menjadi barometer pendidikan nasional dan DIY yang
disebut sebagai kota pelajar tetapi tingkat pendidikannya tergolong rendah.
Menurut
Mudjito, Uga kurikulum di RSBI dan SBI itu adalah kurikulum nasional, kurikulum
International General Certificate of Secondary Education dan kurikulum
Cambridge. Para siswa harus mengikuti Uga kurikulum dengan target pencapaian yang
ditetapkan masing-masing kurikulum. Pelaksanaan kurikulum itu cukup memberatkan
para guru dengan target pencapaian nilai di atas rata-rata. Sedangkan di
kalangan siswa diharapkan dapat menempuh ujian tiga kali dengan paparan
pembelajaran yang berbeda.
Selain itu,
pada tataran kebijakan terdapat sejumlah aturan yang tidak konsisten dalam
pengaturan penyelenggaraan RSBI. Misalnya, kebijakan tertinggi sudah dirumuskan
oleh pemerintah pusat, akan tetapi peraturan pemerintah daerah yang khusus dan
tegas yang mengatur penyelenggaraan SBI belum ada. RSBI dan SBI Juga belum
memiliki peraturan pemerintah yang akan berdampak pada proses koordinasi dan
konsolidasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Namun, hasil
penelitian itu tidak seluruhnya buruk. Lulusan RSBI dan SBI tergolong lebih kompeten
dan berdaya saing dibandingkan siswa sekolah reguler. "Proses pembelajaran
di RSBI dan SBI mengembangkan inovasi, sehingga prestasi belajar lebih tinggi.
Mereka juga bisa berkompetisi di olimpiade tingkat Internasional," tutur
Mudjito seusai pengukuhan. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap SMA RSBI
dan SBI di Jakarta dan DIY antara lain sekolah tersebut meraih prestasi
akreditasi A dari Badan Akreditasi Nasional (BAN) dengan predikat amat baik
dengan nilai minimal 95, lulus ujian nasional.
100 persen
dengan nilai rata rata di atas standar nasional Daya kompetitif untuk melanjutkan
sekolah di dalam dan luar negeri. Daya kompetitif itu dilihat dari prestasi
pada kompetisi olimpiade di bidang pelajaran fisika, kimia, matematika, dan
biologi.
Rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI), merupakan cikal bakal
persiapan menuju sekolah berstandar internasional. Sebuah terobosan edukasi
yang tentu patut mendapat apresiasi tersendiri. Namun apa daya, sepertinya negeri
ini memang kaya program namun kadang aplikasi di lapangan belumlah seperti yang
diharapkan. Berbagai keluhan serta pro dan kontra terus mengiringi keberadaan
RSBI yang dianggap berjalan amburadul. Alhasil, program ini seolah hanya
menjadi ajang komersialisasi. Masih segar ingatan kita tentang protes dari
calon wali murid yang mendaftarkan anaknya di RSBI SMP N 1 Sragen. Mereka
memprotes tingginya uang sumbangan pengembangan dan sumbangan rutin yang oleh
panitia dipatok ugal-ugalan. Saking derasnya aduan yang masuk, sampai-sampai
salah satu anggota DPRD setempat turun langsung untuk melakukan inspeksi.
Hasilnya pun membelalakkan mata. Biaya yang dipatok untuk calon siswa baru
mencekik leher karena angkanya dipatok minimal Rp 2,5 juta rupiah. Biaya itu adalah
biaya minimal yang berarti siapa yang mampu boleh mengisi semaksimal mungkin.
Bagi kalangan menengah ke atas, uang sebesar itu tentu sangatlah kecil. Namun
bagi wali murid dari kalangan tidak mampu tentu akan menjadi problem besar. Mungkin,
kebijakan pengisian blangko sumbangan bermaksud membelajarkan budaya demokrasi.
Namun, celakanya nominal sumbangan inilah yang kemudian disinyalir menjadi
parameter utama untuk menentukan kelolosan calon siswa. Alhasil, siswa yang
diterima pun lebih banyak akibat latar belakang ekonomi dan sumbangan, dengan
mengesampingkan kemampuan akademik. Tidak berhenti sampai di sini. Protes
berlanjut terhadap kebijakan penarikan sumbangan penyelenggaraan pendidikan
(SPP) yang dipatok minimal Rp 250.000 per bulan dan wajib diisi sesuai
kemampuan. Sekali lagi, mungkin kebijakan ini dimaksudkan untuk orientasi
demokratis. Namun kebijakan ini juga bisa berimplikasi negatif terhadap
pembedaan perlakuan dan fasilitas. Belum lagi dampak negatif terhadap
psikologi anak dari kalangan menengah ke bawah yang bisa minder karena uang
SPP-nya di bawah siswa lain. Protes paling anyar juga dialamatkan untuk SMAN 1
Sragen yang kira-kira berlatar belakang hampir sama. Kemudian, melebar ke
Kabupaten Karanganyar. Beberapa waktu lalu, rekan kami banyak berkeluh
kesah tentang sistem PSB yang tidak transparan di RSBI salah satu SMP favorit
di Bumi Intanpari ini. Mereka kecewa karena mendapati nama anaknya tidak
tercantum di papan pengumuman siswa yang diterima. Padahal secara nilai
akademik, semestinya anak-anak mereka bisa diterima karena memiliki riwayat
prestasi baik di SD. Namun, ternyata mayoritas siswa yang diterima adalah
anak-anak dari pejabat dan orang-orang terkemuka di wilayah setempat dengan
latar belakang ekonomi menengah ke atas. Terlalu absurd memang, jika kekecewaan
mereka dilatarbelakangi kegagalan memasukkan anaknya di RSBI. Namun protes
mereka lebih dikarenakan ketidakadilan dan kecurangan yang terjadi. Sebab sejak
awal panitia dilaporkan gembar-gembor bersuara bahwa kelulusan bukan ditentukan
oleh besarnya sumbangan namun dari akumulasi nilai dari SD, ditambah nilai tes
kompetensi pada saat ujian masuk. Namun pada kenyataannya pada papan pengumuman
juga tidak mencantumkan nilai siswa yang sejak awal bakal dicantumkan secara
transparan. Pertanyaan pun kembali muncul, benarkah pola ini hanyalah salah
satu upaya untuk mengelabui para orangtua yang anaknya pintar, namun angka
sumbangannya kalah besar? Sederet fakta dan indikasi kecurangan tersebut
semakin menguatkan bahwa selama ini RSBI ini tak ubahnya menjadi ajang
komersialisasi. Terlalu kasar mungkin, tapi jika dikaji lebih dalam dugaan
tersebut akan mendapatkan benang merah. Dengan dalih untuk biaya kegiatan dan
penyediaan sarana prasarana belajar, sekolah bisa mematok biaya hingga puluhan
juta rupiah. Memang jika dikembalikan lagi, pendidikan berkualitas tidak akan
terlepas dari sarana prasarana yang memadai. Jika dikembalikan lagi, kelas RSBI
adalah jalur VIP yang dikonsep untuk siswa berkelebihan dengan fasilitas yang
lebih komplet dibanding kelas reguler. Sehingga sangatlah wajar jika biaya yang
dipatok juga menyesuaikan Payung Hukum. Namun bukan berarti sekolah bisa
seenaknya memainkan bahasa tersebut untuk mengeruk keuntungan. Sebab jika
dirunut lebih jauh, tujuan pengadaan RSBI ini adalah untuk menyaring
siswa-siswa dengan kemampuan di atas rata-rata agar lebih optimal dalam
menyerap pelajaran. Pertanyaan selanjutnya, benarkah RSBI yang ada sudah
berjalan sesuai konsep yang diprogramkan? Ya, keberadaan RSBI mempunyai payung
hukum yakni UU Nomor 20/2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di
mana pemerintah daerah diwajibkan menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu
sekolah berstandar internasional. Hal inilah yang memotivasi daerah
berlomba-lomba membuat usulan sekolah-sekolah yang dianggap memenuhi syarat
untuk dijadikan RSBI. Sayangnya, celah ini pula yang terkadang ditumpangi motif
lain. Yakni kepentingan untuk mendapat kucuran dana melimpah dari pemerintah
pusat. Ya, sekolah yang ditunjuk sebagai RSBI memang akan mendapat suntikan
dana yang nilainya hampir mendekati Rp 500 juta. Adanya motivasi ini terkadang
membuat daerah seolah memaksakan sekolah yang belum sepenuhnya siap untuk tetap
diusulkan. Belum lagi jika dilihat
dari segi pelaksanaan, konsep RSBI sendiri masih banyak kelemahan. Misalnya,
dari aspek kemampuan penguasaan bahasa Inggris para guru yang masih sangat
rendah. Seperti pernah dinyatakan Direktur Tenaga Kependidikan Direktorat
Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas Surya Dharma,
kemampuan bahasa Inggris guru dan kepala sekolah di RSBI sangatlah rendah. Di
mana, 60 persen dari guru di RSBI level penguasaan bahasa Inggrisnya berada di
level paling rendah. Padahal, penguasaan bahasa pokok internasional ini menjadi
keharusan, mengingat pembelajaran dan komunikasi di kelas RSBI menggunakan
sistem bilingual alias dua bahasa yaitu Indonesia dan Inggris. Kemudian, jika
ditinjau dari segi fasilitas juga banyak dinilai belumlah memadai. Sebab,
mayoritas RSBI yang ada, baru mengupayakan prasarana seperti laboratorium
setelah mendapat anggaran dari pusat. Artinya, besar kemungkinan prasarana yang
ada diupayakan sambil jalan. Tak heran jika akhirnya muncul tanggapan miring
dari kalangan praktisi pendidikan. Koordinator Divisi Pelayanan Publik
Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan pernah menyampaikan jika RSBI atau
SBI inkonstituisonal karena melanggar UUD 1945. Di mana pemerintah mengusahakan
dan menyelenggarakan pendidikan nasional bukan pendidikan internasional. Pengamat
Pendidikan terkemuka Darmaningtyas juga menilai RSBI atau SBI adalah bentuk
komersialisasi pendidikan yang melanggar konstitusi. Sistem pengelolaan RSBI
yang diserahkan sepenuhnya oleh sekolah, membuat manajemen leluasa menarik
biaya sebesar-besarnya karena tidak ada aturan yang eksplisit mengatur besarnya
biaya sumbangan siswa di RSBI. Melihat
konteks persoalan tersebut, rasanya perlu dikaji kembali keberadaan RSBI.
Mungkin perlu ada Perda dan aturan yang jelas mengenai konsep dan standar
kualifikasi untuk sekolah-sekolah negeri yang membuka jalur khusus bernama
RSBI. Tidak hanya manajemen programnya, perlu juga diatur mengenai mekanisme
penentuan sumbangan dan rekrutmen calon siswa barunya. Keharusan transparansi
prosedur rekrutmen, penentuan kelulusan, hingga pencantuman nilai menjadi hal
yang mutlak tak boleh ditinggalkan. Sehingga tidak ada pihak yang merasa
dicurangi, ditelikung atau dikorbankan.
Salah satu konsep RSBI yaitu mengacu kepada standar negara-negara OECD,
termasuk Jepang dianggap oleh sebagian pemikir Jepang sebagai konsep yang tidak
jelas. Apalagi dengan keinginan untuk mendapatkan akreditasi dari badan khusus
di Jepang tentang status keinternasioanalan RSBI tersebut mendapat tanggapan
yang sangat kritis karena tidak ada Badan Akreditasi Sekolah di Jepang atau
lembaga akreditasi-akrediatasian di level pendidikan dasar dan menengah,
sebagaimana yang dikehendaki oleh pengelola RSBI pun tidak ada kurikulum
universitas semacam Cambridge yang bisa diadopsi dan dibeli hak patennya lalu
lulusan RSBI diakui setara dengan lulusan-lulusan sekolah yang menerapkan
sistem Cambridge.
Jepang sama sekali tidak mengenal istilah sekolah internasional maupun
nasional. Menurut pandangan pakar pendidikan di sini, pendidikan bukanlah
barang elit yang harus diberikan hanya kepada sebagian anak yang pandai saja.
Tetapi pendidikan adalah sebuah hak yang harus diterima oleh semua anak dengan
kualitas yang sama. Memang mereka mengakui bahwa anak yang pandai perlu
difasilitasi secara lebih baik, tapi bukan dengan mendirikan sekolah berstandar
internasional mengikuti standar negara lain.
Seorang prof Jepang menceritakan bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini
sama dengan kondisi Jepang di tahun 60an-70an, saat itu APK SD dan SMP di
Jepang telah mencapai 95-97%, sementara APK SMA masih 50%. Yang dilakukan
pemerintah Jepang bukanlah mendirikan sekolah unggul tetapi membangun
sekolah-sekolah dengan fasilitas yang sama yang bisa mendidik anak-anak tanpa
ada perbedaan. Yang karenanya dapat disaksikan fasilitas sekolah Jepang hampir
sama dengan kualitas yang memadai proses pembelajaran.
Prof tersebut kemudian menanyakan mengapa Indonesia tidak mencoba untuk
mempersiapkan pendidikan untuk semua warganya dengan kualitas yang sama seperti
halnya Jepang ? Seandainya dana negara sedikit, dana itu harus dinikmati
bersama oleh rakyat. Barangkali itu akan lebih baik bagi rakyat Indonesia,
daripada membuat sekolah internasional.
Saya pribadi yang meneliti RSBI ini dari aspek latar belakang hukum dan
penerapannya di lapang, sungguh sepakat dengan ide beliau. Dana yang disalurkan
pemerintah untuk proyek ini sungguh besar semoga tidak menjadi sia-sia karena
ketidakmatangan konsep yang kita punyai. Saya merasa agak sedih bahwa pada
kenyataannya konsep RSBI hanya menjadi pembicaraan yang hanya dipahami oleh
pembuat kebijakannya dan kepala sekolah di level pelaksana tidak memahami latar
belakang pemikiran dan apa makna kata pendidikan berstandar bagi warga negara
selain yang tertera di lembaran UU. Sedih sekali bahwa kepala sekolah ternyata
belum diberi otonomi luas selain hanya menjadi pengikut kebijakan pusat.
Kunjungan ke sekolah-sekolah Jepang yang dilakukan oleh para kepsek
mudah-mudahan menyadarkan kita bahwa sebuah sekolah yang menghasilkan lulusan
yang baik di Jepang, ruang kelasnya masih berpapantuliskan papan tulis
kayu,dengan alat tulis kapur, dan tidak dilengkapi dengan OHP. Bahwa setiap
siswa belum mengakses internet secara bebas di sekolah, dan setiap siswa tidak
dapat membawa laptop sendiri-sendiri ke sekolah dan bebas mengakses internet. Di
seantero Jepang belum ada sekolah semacam ini, sebagaimana yang menjadi
kriteria RSBI.
Tetapi tidak berarti bahwa pendidikan anak-anak Jepang tidak
menginternasional, dan teknologi serta kecanggihan IT tidak mereka pahami
dengan baik. Dengan bangganya kita memamerkan bahwa RSBI di Indonesia sudah
memiliki ruang lab canggih, lab bahasa, pelajaran berbahasa pengantar berbahasa
Inggris, sementara guru-guru di Jepang dan pemikir di Jepang mengernyitkan
dahi, seperti apa gerangan pendidikan ala internasional itu ? Sebab fasilitas
sekolah di Jepang diadakan karena memang itu dibutuhkan, dan mereka beranggapan
bahwa fasilitas internet yang bebas akses tidak dibutuhkan di sekolah, maka
tidak diadakan.
Saya menangkap kesan guru-guru di Jepang dan pemikir pendidikannya yang
mendengarkan uraian RSBI agak sulit memahami kelogisannya.
Para pemegang kebijakan di Indonesia barangkali dapat berpikir ulang
tentang konsep RSBI ini. Saya yakin bukan pendidikan mercusuar dan bukan
pendidikan untuk orang berkantong tebal yang kita usung lewat program RSBI
(semoga keyakinan saya benar).
Perenungan mendalam dan rasa keberpihakan kepada anak-anak yang dididik
harus kita lakukan. Bahwa pendidikan itu adalah untuk anak-anak, agar mereka
menjadi manusia dewasa dan berakhlak di lingkungannya, bukan pendidikan agar
negara diakui oleh negara lain sebagai negara maju, atau agar diakui sebagai
anggota OECD. Juga bukan barang jualan yang harus dijual mahal kepada rakyat.
Pendidikan adalah hak rakyat yang harus dipenuhi pemerintah yang didukung
sepenuhnya oleh masyarakat.
Indonesia merupakan sebuah bangsa yang memiliki latar belakang yang khas,
begitu juga dengan pendidikan di indonesia mempunyai kekhasan tersendiri dalam
pembelajaranya, contohnya saja perilaku sopan santun yang ada pada diri
seseorang yang mulai diajarkan sejak ia lahir ke dunia sampai ia meninggal
dunia. Mengapa? Karena, perilaku sopan santun sudah menjadi ciri khas bangsa
indonesia sejak dahulu dan perilaku tersebut tidak mungkin dipisahkan dengan
namanya bangsa Indonesia.
Pada era
yang modern seperti saat ini pendidikan memang menjadi sebuah kebutuhan bagi
setiap orang terutama pendidikan yang bermutu apalagi sekarang ini banyak
sekali lembaga pendidikan yang mulai mengacu kepada sebuah program pendidikan
yang mampu bersaing di kancah internasional contohnya saja sekolah standar
internasional (SBI) yang mana sekolah tersebut dapat dijadikan sebuah acuan
mutu untuk setiap sekolah dapat bersaing di kancah internasional dan tentunya
kita tahu bahwa untuk dapat bersaing dengan sekolah-sekolah internasional salah
satunya kita harus mampu berbahasa inggris dengan baik karena karena jika tidak
menguasainya kita tidak mungkin dapat bersaing dengan bangsa-bangsa yang lain
yang terus berpacu dalam bidang pendidikan.
Perbedaan
dan keunggulan sekolah bertaraf internasional ini dibandingkan dengan
sekolah-sekolah yang lain memang jauh perbedaanya mulai dari bahasa sehari-hari
yang digunakan sampai jam mata pelajaran yang ditambah agar mampu bersaing
dengan pendidikan yang berkembang di kancah internasional, namun disatu sisi
karena sering mementingkan peggunaan bahasa inggris dalam pembelajaran suatu
mata pelajaran bahasa indonesia seolah-olah mulai tersisihkan dari dalam sistem
pendidikan yang di indonesia dan mungkin suatu saat nanti mapel bahasa
indonesia yang notabenenya menjadi pelajaran wajib akan di hilangkan dari
proses pendidikan yang ada di indonesia saat ini.
/*Jadi
apakah kita harus menghilangkan mapel bahasa inggris dari sistem pendidikan
yang ada di Indonesia ?
Akhir-akhir
ini Indonesia banyak sekali mengalami permasalahan yang sangat pelik mulai dari
bencana alam yang melanda Indonesia secara merata di hampir setiap daerah di Indonesia,
tingkah laku para koruptor yang yang juga merata mulai dari atasan sampai
bawahan hingga problem pengklaiman seni dan budaya Indonesia oleh Negara-negara
tetangga. Contohnya saja batik, batik pernah menjadi sasaran pengklaiman oleh
Negara Malaysia yang mana Negara tersebut adalah tetangga kita sendiri yang
mempunyai latar belakang yang hampir sama dengan teganya mengakui batik sebagai
hasil karya mereka, namun saat ini Indonesia boleh lega karena batik telah
ditetapkan sebagai warisan dunia yang bersal dari Indonesia oleh UNESCO. Itu
hanyalah salah satu hasil karya bangsa yang hampir hilang dari genggaman bangsa
Indonesia, Apakah selanjutnya? Apakah bahasa Indonesia akan diakui Negara lain
saat kita sudah lupa pada jati diri kita sendiri? Apakah dengan datangnya SBI di
kalangan pelajar kita bahasa Indonesia di masa mendatang akan tersisihkan? Untuk
menanggulangi hal tersebut salah satunya yaitu dengan mengenalkan budaya bangsa
Indonesia kepada dunia dan tentunya untuk melakukan hal tersebut sebelumnya
kita perlu belajar bahasa dunia agar mereka dapat mengerti apa yang hendak kita
sampaikan kepada mereka.
Menurut
observasi yang kami lakukan pada seorang pelajar yang mengikuti program SBI
yaitu melalui sebuah wawancara, kami dapati bahwa dengan adanya SBI di
indonesia tidak membuat jiwa nasiosalisme mereka menjadi pudar, karena menurut
mereka pada dasarnya semua pembelajaran yang mereka terima berpusat pada pada
penggunaan bahasa indonesia baik itu dalam ilmu sosial,ilmu pengetahuan alam
ataupun juga bahasa inggris itu sendiri, jika di ibaratkan bahasa inggris
hanyalah sebuah alat penghubung antara kita dan bangsa-bangsa yang lain yang
ada di dunia untuk menciptakan sebuah kerjasama. Karena dengan adanya sebuah
kerjasama suatu pemasalahan hidup ini akan lebih mudah untuk dilewati dan di
pecahkan.
Kewajiban
pembelajaran bahasa inggris dalam SBI pastinya tidak akan merubah latar
belakang kita sebagai bangsa indonesia, karena tujuan utama kita dalam
mempelajari bahasa inggris tersebut hanyalah sebagai ilmu bukan sebagai
pemindahan suatu latar belakang bangsa indonesia kepada latar belakang Negara
lain dan toh kita belajar bahasa inggris hanya saat kita berada didalam sebuah
lembaga formal yaitu disekolahan maupun disebuah lembaga pembelajaran yang
lainnya, jika kita sedang diluar lembaga tersebut pastinya kita lebih banyak
menggunakan bahasa indonesia untuk berinteraksi dengan orang lain atau mungkin
kita lebih banyak menggunakan bahasa daerah kita masing-masing.
Dunia telah
menetapkan bahasa inggris menjadi sebuah bahasa resmi internasional dan dengan
adanya bahasa resmi tersebut dapat lebih memudahkan hubungan bilateral antar
bangsa dan Negara yang ada di seluruh dunia. Bukan cuma itu saja tapi juga
dalam bidang lain contohnya saja perundingan yang dilakukan oleh G-20 yang
belum lama ini yang mana tujuan dari perundingan tersebut yaitu untuk
memecahkan permasalahan ekonomi dunia yang tak lain dan tak bukan adalah krisis
global yang melanda hampir di setiap Negara yang ada di dunia. Dalam
perundingan tersebut pastinya menggunakan bahasa persatuan yaitu bahasa
inggris, sesuatu yang tidak mungkin sebuah kerja sama akan berhasil terjalin
dengan maksimal jika tidak ada alat pemersatu antara satu dengan yang lain.
Jadi inti
dari semua ini adalah kita sebagai bangsa indonesia tidak perlu khawatir untuk
mempelajari bahasa inggris karena pada dasarnya bahasa inggris itu penting
untuk kita pelajari agar kita lebih mengenal dunia yang sangat luas ini dan
dengan bahasa inggris ini mari kita kenalkan dan kita buktikan kepada dunia
bahwa indonesia memiliki sebuah jatidiri dan indonesia mampu bersaing dengan
Negara-negara maju yang ada di seluruh dunia dan mari kita kenalkan kepada
dunia tentang kebudayaan yang ada di indonesia agar budaya kita tidak direbut
oleh Negara lain sebagaimana terjadi akhir-akhir ini. Jadi ayo kita buktikan
kemampuan kita kepada dunia lewat sekolah bertaraf internasional.
Pelaksanaan
sekolah bertaraf internasional dan rintisan sekolah bertaraf internasional atau
SBI/RSBI dinilai melenceng dari tujuan semula. Selama ini, pengajaran SBI/RSBI
lebih berorientasi pada pendidikan asing namun mengabaikan penanaman identitas
Indonesia. Padahal, pengajaran seharusnya tetap berdasar pada nilai-nilai
bangsa yang diperkaya dengan wawasan internasional. Hal itu diungkapkan Kepala
Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY Suwarsih Madya di Yogyakarta, Senin
(28/12). "Tujuan SBI/RSBI adalah mendidik anak-anak dengan identitas
kebangsaan yang kuat dan bisa membawa identitas itu ke dunia internasional,
bukan menyamakan pendidikan dengan kurikulum asing," tuturnya. Menurut
Suwarsih, kecenderungan ini mengarah pada disorientasi pendidikan dan
disorientasi budaya. Pelajar SBI/RSBI dikhawatirkan mempunyai pengetahuan
mengenai budaya dan kondisi negara asing namun semakin tidak mengenal budaya
dan kondisi di sekelilingnya. Untuk mengembalikan SBI/RSBI pada tujuan semula, Dinas
Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY berencana memperkaya pengajaran SBI/RSBI
dengan muatan seni dan budaya. Selain itu akan diberikan pula pendidikan
karakter untuk mengasah daya kritis pelajar SBI/RSBI. Indikasi melencengnya
pendidikan SBI/RSBI antaralain pengajaran yang diutamakan pada penguasaan
bahasa Inggris dan makin banyaknya sekolah yang mengajukan diri untuk bisa
menjadi penyelenggara tes Cambridge (Cambridge Center) atau sertifikasi
pendidikan yang diakui secara internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar