Selasa, 29 Mei 2012

MAKALAH PENGANTAR PENDIDIKAN


PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang Masalah
Dalam dekade tahun ini di dunia pendidikan Indonesia banyak sekolah –sekolah yang berupaya untuk meningkatkan kualitasnya dalam penyelenggaraan pendidikan. Maka dari itu perlu adanya standarisasi yang direalisasikan dengan diadakannya Rintisan Sekolah Bertaraf  Internasional (R-SBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) .
Perbedaan dan keunggulan sekolah bertaraf internasional ini dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang lain memang jauh perbedaanya mulai dari bahasa sehari-hari yang digunakan sampai jam mata pelajaran yang ditambah agar mampu bersaing dengan pendidikan yang berkembang di kancah internasional .
 Akan tetapi dalam prakteknya penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf  Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) menyimpan banyak masalah. Berbagai masalah itu, akan dipaparkan didalam isi makalah ini .

2.Rumusan Masalah
            1.  Banyak sekolah-sekolah RSBI yang masih belum memenuhi kriteria?
2.  Penyelenggaraan RSBI terkesan tidak konsisten?
 
KAJIAN

Latar Belakang RSBI dan SBI

1. Pada tahun 90-an, banyak sekolah-sekolah yang didirikan oleh suatu yayasan dengan menggunakan identitas internasional tetapi tidak jelas kualitas dan standarnya;

2. Banyak orang tua yang mampu secara ekonomi memilih menyekolahkan anaknya ke Luar Negeri;

3. Belum ada payung hukum yang mengatur penyeleng-garaan sekolah internasional;

4. Perlunya membangun sekolah berkualitas sebagai pusat unggulan (center of excellence) pendidikan;

5. Atas fenomena di atas, Pemerintah mulai mengatur dan merintis sekolah bertaraf internasional;

6. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia perlu pengakuan secara internasional terhadap kualitas proses, dan hasil pendidikannya.


Dasar Hukum SBI

 UU No. 20/2003 (Sistem Pendidikan Nasional) pasal 50 ayat 3,
    yakni:“Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang kurangnya      
    satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk
    dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.
 UU No. 32/2004 (Pemerintahan Daerah)
 PP No.19/2005 (Standar Nasional Pendidikan)
 PP No 38/2007 (Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan  
    Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota)
 PP No. 48/2008 (Pendanaan Pendidikan)
 PP No. 17/2010 (Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan)
 Permendiknas No. 63/2009 (Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan)
 Permendiknas No. 78/2009 (Penyelenggaraan SBI pada Jenjang
    Pendidikan Dasar dan Menengah).

Definisi
Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan (8 standar) dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju.
            Tujuan dari program ini adalah:
1.                  Sebagai acuan mutu pendidikan untuk meningkatkan kualitas dan daya saing baik  di tingkat regional maupun internasional.
2.                  Peningkatan dan Pemerataan Mutu Pendidikan.

PROSES MENUJU SBI

1. Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang meliputi:
a. standar isi;
b. Standar proses;
c. Standar kompetensi lulusan;
d. Standar pendidik dan tenaga kependidikan;
e. Standar sarana dan prasarana;
f. Standar pengelolaan;
g. Standar pembiayaan; dan
h. Standar penilaian pendidikan

2.  Sekolah yang memenuhi standar minimal SNP diberikan pendampingan,  
     pembimbingan,penguatan, dalam bentuk Rintisan SBI (RSBI)

PROGRAM DAN KEGIATAN MENUJU SBI

1. Mempersiapkan kurikulum yang mengacu pada kurikulum negara maju
2. Meningkatkan kualitas proses pembelajaran
3. Melatih guru dalam pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran
4. Meningkatkan kompetensi dan kualifikasi guru
5. Mendapatkan pendampingan dari Tenaga Ahli
6. Menjalin sister school
7. Meningkatkan kemampuan guru dalam berbahasa internasional
8. Menerapkan Sistem Manajemen Mutu (ISO)
9. Menyelenggarakan pelatihan leadership untuk Kepala Sekolah
10.Melengkapi sarana sekolah

Permasalahan

Rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI), merupakan cikal bakal persiapan menuju sekolah berstandar internasional. Sebuah terobosan edukasi yang tentu patut mendapat apresiasi tersendiri. Namun apa daya, sepertinya negeri ini memang kaya program namun kadang aplikasi di lapangan belumlah seperti yang diharapkan. Berbagai keluhan serta pro dan kontra terus mengiringi keberadaan RSBI yang dianggap berjalan amburadul. Alhasil, program ini seolah hanya menjadi ajang komersialisasi.
Pada era yang modern seperti saat ini pendidikan memang menjadi sebuah kebutuhan bagi setiap orang terutama pendidikan yang bermutu apalagi sekarang ini banyak sekali lembaga pendidikan yang mulai mengacu kepada sebuah program pendidikan yang mampu bersaing di kancah internasional contohnya saja sekoalah standar internasional (SBI) yang mana sekolah tersebut dapat dijadikan sebuah acuan mutu untuk setiap sekolah dapat bersaing di kancah internasional dan tentunya kita tahu bahwa untuk dapat bersaing dengan sekolah-sekolah internasional salah satunya kita harus mampu berbahasa inggris dengan baik karena karena jika tidak menguasainya kita tidak mungkin dapat bersaing dengan bangsa-bangsa yang lain yang terus berpacu dalam bidang pendidikan.
Perbedaan dan keunggulan sekolah bertaraf internasional ini dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang lain memang jauh perbedaanya mulai dari bahasa sehari-hari yang digunakan sampai jam mata pelajaran yang ditambah agar mampu bersaing dengan pendidikan yang berkembang di kancah internasional,namun disatu sisi karena sering mementingkan peggunaan bahasa inggris dalam pembelajaran suatu mata pelajaran bahasa indonesia seolah-olah mulai tersisihkan dari dalam sistem pendidikan yang di indonesia dan mungkin suatu saat nanti mapel bahasa indonesia yang notabenenya menjadi pelajaran wajib akan di hilangkan dari proses pendidikan yang ada di indonesia saat ini.
Penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) menyimpan banyak masalah. Berbagai masalah itu, antara lain siswa wajib mengikuti ujian untuk tiga kurikulum dan kebijakan terkait penyelenggaraan RSBI dan SBI juga tidak konsisten.
Hal itu terungkap dalam Sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Jakarta yang menguji Mudjito dengan disertasi berjudul "Evaluasi Kebijakan Pendidikan Nasional tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional untuk Pendidikan Dasar dan Menengah", Rabu (2/6). Sidang untuk meraih gelar doktor program studi Manajemen Pendidikan Itu dipimpin Rektor UNJ Bedjo Sujanto.
Penelitian terhadap RSBI dan SBI itu dilakukan Mudjito yang juga Direktur Pendidikan TK dan SD di Kemendiknas selama 2009. Objek penelitian terhadap sekolah di DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Alasan pengambilan lokasi karena Jakarta adalah Ibu Kota yang menjadi barometer pendidikan nasional dan DIY yang disebut sebagai kota pelajar tetapi tingkat pendidikannya tergolong rendah.
Menurut Mudjito, Uga kurikulum di RSBI dan SBI itu adalah kurikulum nasional, kurikulum International General Certificate of Secondary Education dan kurikulum Cambridge. Para siswa harus mengikuti Uga kurikulum dengan target pencapaian yang ditetapkan masing-masing kurikulum. Pelaksanaan kurikulum itu cukup memberatkan para guru dengan target pencapaian nilai di atas rata-rata. Sedangkan di kalangan siswa diharapkan dapat menempuh ujian tiga kali dengan paparan pembelajaran yang berbeda.
Selain itu, pada tataran kebijakan terdapat sejumlah aturan yang tidak konsisten dalam pengaturan penyelenggaraan RSBI. Misalnya, kebijakan tertinggi sudah dirumuskan oleh pemerintah pusat, akan tetapi peraturan pemerintah daerah yang khusus dan tegas yang mengatur penyelenggaraan SBI belum ada. RSBI dan SBI Juga belum memiliki peraturan pemerintah yang akan berdampak pada proses koordinasi dan konsolidasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Namun, hasil penelitian itu tidak seluruhnya buruk. Lulusan RSBI dan SBI tergolong lebih kompeten dan berdaya saing dibandingkan siswa sekolah reguler. "Proses pembelajaran di RSBI dan SBI mengembangkan inovasi, sehingga prestasi belajar lebih tinggi. Mereka juga bisa berkompetisi di olimpiade tingkat Internasional," tutur Mudjito seusai pengukuhan. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap SMA RSBI dan SBI di Jakarta dan DIY antara lain sekolah tersebut meraih prestasi akreditasi A dari Badan Akreditasi Nasional (BAN) dengan predikat amat baik dengan nilai minimal 95, lulus ujian nasional.
100 persen dengan nilai rata rata di atas standar nasional Daya kompetitif untuk melanjutkan sekolah di dalam dan luar negeri. Daya kompetitif itu dilihat dari prestasi pada kompetisi olimpiade di bidang pelajaran fisika, kimia, matematika, dan biologi.
Rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI), merupakan cikal bakal persiapan menuju sekolah berstandar internasional. Sebuah terobosan edukasi yang tentu patut mendapat apresiasi tersendiri. Namun apa daya, sepertinya negeri ini memang kaya program namun kadang aplikasi di lapangan belumlah seperti yang diharapkan. Berbagai keluhan serta pro dan kontra terus mengiringi keberadaan RSBI yang dianggap berjalan amburadul. Alhasil, program ini seolah hanya menjadi ajang komersialisasi. Masih segar ingatan kita tentang protes dari calon wali murid yang mendaftarkan anaknya di RSBI SMP N 1 Sragen. Mereka memprotes tingginya uang sumbangan pengembangan dan sumbangan rutin yang oleh panitia dipatok ugal-ugalan. Saking derasnya aduan yang masuk, sampai-sampai salah satu anggota DPRD setempat turun langsung untuk melakukan inspeksi. Hasilnya pun membelalakkan mata. Biaya yang dipatok untuk calon siswa baru mencekik leher karena angkanya dipatok minimal Rp 2,5 juta rupiah. Biaya itu adalah biaya minimal yang berarti siapa yang mampu boleh mengisi semaksimal mungkin. Bagi kalangan menengah ke atas, uang sebesar itu tentu sangatlah kecil. Namun bagi wali murid dari kalangan tidak mampu tentu akan menjadi problem besar. Mungkin, kebijakan pengisian blangko sumbangan bermaksud membelajarkan budaya demokrasi. Namun, celakanya nominal sumbangan inilah yang kemudian disinyalir menjadi parameter utama untuk menentukan kelolosan calon siswa. Alhasil, siswa yang diterima pun lebih banyak akibat latar belakang ekonomi dan sumbangan, dengan mengesampingkan kemampuan akademik. Tidak berhenti sampai di sini. Protes berlanjut terhadap kebijakan penarikan sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) yang  dipatok minimal Rp 250.000 per bulan dan wajib diisi sesuai kemampuan. Sekali lagi, mungkin kebijakan ini dimaksudkan untuk orientasi demokratis. Namun kebijakan ini juga bisa berimplikasi negatif terhadap pembedaan  perlakuan dan fasilitas. Belum lagi dampak negatif terhadap psikologi anak dari kalangan menengah ke bawah yang bisa minder karena uang SPP-nya di bawah siswa lain. Protes paling anyar juga dialamatkan untuk SMAN 1 Sragen yang kira-kira berlatar belakang hampir sama. Kemudian, melebar ke Kabupaten Karanganyar.  Beberapa waktu lalu, rekan kami banyak berkeluh kesah tentang sistem PSB yang tidak transparan di RSBI salah satu SMP favorit di Bumi Intanpari ini. Mereka kecewa karena mendapati nama anaknya tidak tercantum di papan pengumuman siswa yang diterima. Padahal secara nilai akademik, semestinya anak-anak mereka bisa diterima karena memiliki riwayat prestasi baik di SD. Namun, ternyata mayoritas siswa yang diterima adalah anak-anak dari pejabat dan orang-orang terkemuka di wilayah setempat dengan latar belakang ekonomi menengah ke atas. Terlalu absurd memang, jika kekecewaan mereka dilatarbelakangi kegagalan memasukkan anaknya di RSBI. Namun protes mereka lebih dikarenakan ketidakadilan dan kecurangan yang terjadi. Sebab sejak awal panitia dilaporkan gembar-gembor bersuara bahwa kelulusan bukan ditentukan oleh besarnya sumbangan namun dari akumulasi nilai dari SD, ditambah nilai tes kompetensi pada saat ujian masuk. Namun pada kenyataannya pada papan pengumuman juga tidak mencantumkan nilai siswa yang sejak awal bakal dicantumkan secara transparan. Pertanyaan pun kembali muncul, benarkah pola ini hanyalah salah satu upaya untuk mengelabui para orangtua yang anaknya pintar, namun angka sumbangannya kalah besar? Sederet fakta dan indikasi kecurangan tersebut semakin menguatkan bahwa selama ini RSBI ini tak ubahnya menjadi ajang komersialisasi. Terlalu kasar mungkin, tapi jika dikaji lebih dalam dugaan tersebut akan mendapatkan benang merah. Dengan dalih untuk biaya kegiatan dan penyediaan sarana prasarana belajar, sekolah bisa mematok biaya hingga puluhan juta rupiah. Memang jika dikembalikan lagi, pendidikan berkualitas tidak akan terlepas dari sarana prasarana yang memadai. Jika dikembalikan lagi, kelas RSBI adalah jalur VIP yang dikonsep untuk siswa berkelebihan dengan fasilitas yang lebih komplet dibanding kelas reguler. Sehingga sangatlah wajar jika biaya yang dipatok juga menyesuaikan Payung Hukum. Namun bukan berarti sekolah bisa seenaknya memainkan bahasa tersebut untuk mengeruk keuntungan. Sebab jika dirunut lebih jauh, tujuan pengadaan RSBI ini adalah untuk menyaring siswa-siswa dengan kemampuan di atas rata-rata agar lebih optimal dalam menyerap pelajaran. Pertanyaan selanjutnya, benarkah RSBI yang ada sudah berjalan sesuai konsep yang diprogramkan? Ya, keberadaan RSBI mempunyai payung hukum yakni UU Nomor 20/2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di mana pemerintah daerah diwajibkan menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu sekolah berstandar internasional. Hal inilah yang memotivasi daerah berlomba-lomba membuat usulan sekolah-sekolah yang dianggap memenuhi syarat untuk dijadikan RSBI. Sayangnya, celah ini pula yang terkadang ditumpangi motif lain. Yakni kepentingan untuk mendapat kucuran dana melimpah dari pemerintah pusat. Ya, sekolah yang ditunjuk sebagai RSBI memang akan mendapat suntikan dana yang nilainya hampir mendekati Rp 500 juta. Adanya motivasi ini terkadang membuat daerah seolah memaksakan sekolah yang belum sepenuhnya siap untuk tetap diusulkan.   Belum lagi jika dilihat dari segi pelaksanaan, konsep RSBI sendiri masih banyak kelemahan. Misalnya, dari aspek kemampuan penguasaan bahasa Inggris para guru yang masih sangat rendah. Seperti pernah dinyatakan Direktur Tenaga Kependidikan Direktorat Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas Surya Dharma, kemampuan bahasa Inggris guru dan kepala sekolah di RSBI sangatlah rendah. Di mana, 60 persen dari guru di RSBI level penguasaan bahasa Inggrisnya berada di level paling rendah. Padahal, penguasaan bahasa pokok internasional ini menjadi keharusan, mengingat pembelajaran dan komunikasi di kelas RSBI menggunakan sistem bilingual alias dua bahasa yaitu Indonesia dan Inggris. Kemudian, jika ditinjau dari segi fasilitas juga banyak dinilai belumlah memadai. Sebab, mayoritas RSBI yang ada, baru mengupayakan prasarana seperti laboratorium setelah mendapat anggaran dari pusat. Artinya, besar kemungkinan prasarana yang ada diupayakan sambil jalan. Tak heran jika akhirnya muncul tanggapan miring dari kalangan praktisi pendidikan. Koordinator Divisi Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan pernah menyampaikan jika RSBI atau SBI inkonstituisonal karena melanggar UUD 1945. Di mana pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan pendidikan nasional bukan pendidikan internasional. Pengamat Pendidikan terkemuka Darmaningtyas juga menilai RSBI atau SBI adalah bentuk komersialisasi pendidikan yang melanggar konstitusi. Sistem pengelolaan RSBI yang diserahkan sepenuhnya oleh sekolah, membuat manajemen leluasa menarik biaya sebesar-besarnya karena tidak ada aturan yang eksplisit mengatur besarnya biaya sumbangan siswa di RSBI.  Melihat konteks persoalan tersebut, rasanya perlu dikaji kembali keberadaan RSBI. Mungkin perlu ada Perda dan aturan yang jelas mengenai konsep dan standar kualifikasi untuk sekolah-sekolah negeri yang membuka jalur khusus bernama RSBI. Tidak hanya manajemen programnya, perlu juga diatur mengenai mekanisme penentuan sumbangan dan rekrutmen calon siswa barunya. Keharusan transparansi prosedur rekrutmen, penentuan kelulusan, hingga pencantuman nilai menjadi hal yang mutlak tak boleh ditinggalkan. Sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi, ditelikung atau dikorbankan.
Salah satu konsep RSBI yaitu mengacu kepada standar negara-negara OECD, termasuk Jepang dianggap oleh sebagian pemikir Jepang sebagai konsep yang tidak jelas. Apalagi dengan keinginan untuk mendapatkan akreditasi dari badan khusus di Jepang tentang status keinternasioanalan RSBI tersebut mendapat tanggapan yang sangat kritis karena tidak ada Badan Akreditasi Sekolah di Jepang atau lembaga akreditasi-akrediatasian di level pendidikan dasar dan menengah, sebagaimana yang dikehendaki oleh pengelola RSBI pun tidak ada kurikulum universitas semacam Cambridge yang bisa diadopsi dan dibeli hak patennya lalu lulusan RSBI diakui setara dengan lulusan-lulusan sekolah yang menerapkan sistem Cambridge.
Jepang sama sekali tidak mengenal istilah sekolah internasional maupun nasional. Menurut pandangan pakar pendidikan di sini, pendidikan bukanlah barang elit yang harus diberikan hanya kepada sebagian anak yang pandai saja. Tetapi pendidikan adalah sebuah hak yang harus diterima oleh semua anak dengan kualitas yang sama. Memang mereka mengakui bahwa anak yang pandai perlu difasilitasi secara lebih baik, tapi bukan dengan mendirikan sekolah berstandar internasional mengikuti standar negara lain.
Seorang prof Jepang menceritakan bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini sama dengan kondisi Jepang di tahun 60an-70an, saat itu APK SD dan SMP di Jepang telah mencapai 95-97%, sementara APK SMA masih 50%. Yang dilakukan pemerintah Jepang bukanlah mendirikan sekolah unggul tetapi membangun sekolah-sekolah dengan fasilitas yang sama yang bisa mendidik anak-anak tanpa ada perbedaan. Yang karenanya dapat disaksikan fasilitas sekolah Jepang hampir sama dengan kualitas yang memadai proses pembelajaran.
Prof tersebut kemudian menanyakan mengapa Indonesia tidak mencoba untuk mempersiapkan pendidikan untuk semua warganya dengan kualitas yang sama seperti halnya Jepang ? Seandainya dana negara sedikit, dana itu harus dinikmati bersama oleh rakyat. Barangkali itu akan lebih baik bagi rakyat Indonesia, daripada membuat sekolah internasional.
Saya pribadi yang meneliti RSBI ini dari aspek latar belakang hukum dan penerapannya di lapang, sungguh sepakat dengan ide beliau. Dana yang disalurkan pemerintah untuk proyek ini sungguh besar semoga tidak menjadi sia-sia karena ketidakmatangan konsep yang kita punyai. Saya merasa agak sedih bahwa pada kenyataannya konsep RSBI hanya menjadi pembicaraan yang hanya dipahami oleh pembuat kebijakannya dan kepala sekolah di level pelaksana tidak memahami latar belakang pemikiran dan apa makna kata pendidikan berstandar bagi warga negara selain yang tertera di lembaran UU. Sedih sekali bahwa kepala sekolah ternyata belum diberi otonomi luas selain hanya menjadi pengikut kebijakan pusat.
Kunjungan ke sekolah-sekolah Jepang yang dilakukan oleh para kepsek mudah-mudahan menyadarkan kita bahwa sebuah sekolah yang menghasilkan lulusan yang baik di Jepang, ruang kelasnya masih berpapantuliskan papan tulis kayu,dengan alat tulis kapur, dan tidak dilengkapi dengan OHP. Bahwa setiap siswa belum mengakses internet secara bebas di sekolah, dan setiap siswa tidak dapat membawa laptop sendiri-sendiri ke sekolah dan bebas mengakses internet. Di seantero Jepang belum ada sekolah semacam ini, sebagaimana yang menjadi kriteria RSBI.
Tetapi tidak berarti bahwa pendidikan anak-anak Jepang tidak menginternasional, dan teknologi serta kecanggihan IT tidak mereka pahami dengan baik. Dengan bangganya kita memamerkan bahwa RSBI di Indonesia sudah memiliki ruang lab canggih, lab bahasa, pelajaran berbahasa pengantar berbahasa Inggris, sementara guru-guru di Jepang dan pemikir di Jepang mengernyitkan dahi, seperti apa gerangan pendidikan ala internasional itu ? Sebab fasilitas sekolah di Jepang diadakan karena memang itu dibutuhkan, dan mereka beranggapan bahwa fasilitas internet yang bebas akses tidak dibutuhkan di sekolah, maka tidak diadakan.
Saya menangkap kesan guru-guru di Jepang dan pemikir pendidikannya yang mendengarkan uraian RSBI agak sulit memahami kelogisannya.
Para pemegang kebijakan di Indonesia barangkali dapat berpikir ulang tentang konsep RSBI ini. Saya yakin bukan pendidikan mercusuar dan bukan pendidikan untuk orang berkantong tebal yang kita usung lewat program RSBI (semoga keyakinan saya benar).
Perenungan mendalam dan rasa keberpihakan kepada anak-anak yang dididik harus kita lakukan. Bahwa pendidikan itu adalah untuk anak-anak, agar mereka menjadi manusia dewasa dan berakhlak di lingkungannya, bukan pendidikan agar negara diakui oleh negara lain sebagai negara maju, atau agar diakui sebagai anggota OECD. Juga bukan barang jualan yang harus dijual mahal kepada rakyat. Pendidikan adalah hak rakyat yang harus dipenuhi pemerintah yang didukung sepenuhnya oleh masyarakat.
Indonesia merupakan sebuah bangsa yang memiliki latar belakang yang khas, begitu juga dengan pendidikan di indonesia mempunyai kekhasan tersendiri dalam pembelajaranya, contohnya saja perilaku sopan santun yang ada pada diri seseorang yang mulai diajarkan sejak ia lahir ke dunia sampai ia meninggal dunia. Mengapa? Karena, perilaku sopan santun sudah menjadi ciri khas bangsa indonesia sejak dahulu dan perilaku tersebut tidak mungkin dipisahkan dengan namanya bangsa Indonesia.
Pada era yang modern seperti saat ini pendidikan memang menjadi sebuah kebutuhan bagi setiap orang terutama pendidikan yang bermutu apalagi sekarang ini banyak sekali lembaga pendidikan yang mulai mengacu kepada sebuah program pendidikan yang mampu bersaing di kancah internasional contohnya saja sekolah standar internasional (SBI) yang mana sekolah tersebut dapat dijadikan sebuah acuan mutu untuk setiap sekolah dapat bersaing di kancah internasional dan tentunya kita tahu bahwa untuk dapat bersaing dengan sekolah-sekolah internasional salah satunya kita harus mampu berbahasa inggris dengan baik karena karena jika tidak menguasainya kita tidak mungkin dapat bersaing dengan bangsa-bangsa yang lain yang terus berpacu dalam bidang pendidikan.
Perbedaan dan keunggulan sekolah bertaraf internasional ini dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang lain memang jauh perbedaanya mulai dari bahasa sehari-hari yang digunakan sampai jam mata pelajaran yang ditambah agar mampu bersaing dengan pendidikan yang berkembang di kancah internasional, namun disatu sisi karena sering mementingkan peggunaan bahasa inggris dalam pembelajaran suatu mata pelajaran bahasa indonesia seolah-olah mulai tersisihkan dari dalam sistem pendidikan yang di indonesia dan mungkin suatu saat nanti mapel bahasa indonesia yang notabenenya menjadi pelajaran wajib akan di hilangkan dari proses pendidikan yang ada di indonesia saat ini.
/*Jadi apakah kita harus menghilangkan mapel bahasa inggris dari sistem pendidikan yang ada di Indonesia ?
Akhir-akhir ini Indonesia banyak sekali mengalami permasalahan yang sangat pelik mulai dari bencana alam yang melanda Indonesia secara merata di hampir setiap daerah di Indonesia, tingkah laku para koruptor yang yang juga merata mulai dari atasan sampai bawahan hingga problem pengklaiman seni dan budaya Indonesia oleh Negara-negara tetangga. Contohnya saja batik, batik pernah menjadi sasaran pengklaiman oleh Negara Malaysia yang mana Negara tersebut adalah tetangga kita sendiri yang mempunyai latar belakang yang hampir sama dengan teganya mengakui batik sebagai hasil karya mereka, namun saat ini Indonesia boleh lega karena batik telah ditetapkan sebagai warisan dunia yang bersal dari Indonesia oleh UNESCO. Itu hanyalah salah satu hasil karya bangsa yang hampir hilang dari genggaman bangsa Indonesia, Apakah selanjutnya? Apakah bahasa Indonesia akan diakui Negara lain saat kita sudah lupa pada jati diri kita sendiri? Apakah dengan datangnya SBI di kalangan pelajar kita bahasa Indonesia di masa mendatang akan tersisihkan? Untuk menanggulangi hal tersebut salah satunya yaitu dengan mengenalkan budaya bangsa Indonesia kepada dunia dan tentunya untuk melakukan hal tersebut sebelumnya kita perlu belajar bahasa dunia agar mereka dapat mengerti apa yang hendak kita sampaikan kepada mereka.
Menurut observasi yang kami lakukan pada seorang pelajar yang mengikuti program SBI yaitu melalui sebuah wawancara, kami dapati bahwa dengan adanya SBI di indonesia tidak membuat jiwa nasiosalisme mereka menjadi pudar, karena menurut mereka pada dasarnya semua pembelajaran yang mereka terima berpusat pada pada penggunaan bahasa indonesia baik itu dalam ilmu sosial,ilmu pengetahuan alam ataupun juga bahasa inggris itu sendiri, jika di ibaratkan bahasa inggris hanyalah sebuah alat penghubung antara kita dan bangsa-bangsa yang lain yang ada di dunia untuk menciptakan sebuah kerjasama. Karena dengan adanya sebuah kerjasama suatu pemasalahan hidup ini akan lebih mudah untuk dilewati dan di pecahkan.
Kewajiban pembelajaran bahasa inggris dalam SBI pastinya tidak akan merubah latar belakang kita sebagai bangsa indonesia, karena tujuan utama kita dalam mempelajari bahasa inggris tersebut hanyalah sebagai ilmu bukan sebagai pemindahan suatu latar belakang bangsa indonesia kepada latar belakang Negara lain dan toh kita belajar bahasa inggris hanya saat kita berada didalam sebuah lembaga formal yaitu disekolahan maupun disebuah lembaga pembelajaran yang lainnya, jika kita sedang diluar lembaga tersebut pastinya kita lebih banyak menggunakan bahasa indonesia untuk berinteraksi dengan orang lain atau mungkin kita lebih banyak menggunakan bahasa daerah kita masing-masing.
Dunia telah menetapkan bahasa inggris menjadi sebuah bahasa resmi internasional dan dengan adanya bahasa resmi tersebut dapat lebih memudahkan hubungan bilateral antar bangsa dan Negara yang ada di seluruh dunia. Bukan cuma itu saja tapi juga dalam bidang lain contohnya saja perundingan yang dilakukan oleh G-20 yang belum lama ini yang mana tujuan dari perundingan tersebut yaitu untuk memecahkan permasalahan ekonomi dunia yang tak lain dan tak bukan adalah krisis global yang melanda hampir di setiap Negara yang ada di dunia. Dalam perundingan tersebut pastinya menggunakan bahasa persatuan yaitu bahasa inggris, sesuatu yang tidak mungkin sebuah kerja sama akan berhasil terjalin dengan maksimal jika tidak ada alat pemersatu antara satu dengan yang lain.
Jadi inti dari semua ini adalah kita sebagai bangsa indonesia tidak perlu khawatir untuk mempelajari bahasa inggris karena pada dasarnya bahasa inggris itu penting untuk kita pelajari agar kita lebih mengenal dunia yang sangat luas ini dan dengan bahasa inggris ini mari kita kenalkan dan kita buktikan kepada dunia bahwa indonesia memiliki sebuah jatidiri dan indonesia mampu bersaing dengan Negara-negara maju yang ada di seluruh dunia dan mari kita kenalkan kepada dunia tentang kebudayaan yang ada di indonesia agar budaya kita tidak direbut oleh Negara lain sebagaimana terjadi akhir-akhir ini. Jadi ayo kita buktikan kemampuan kita kepada dunia lewat sekolah bertaraf internasional.
Pelaksanaan sekolah bertaraf internasional dan rintisan sekolah bertaraf internasional atau SBI/RSBI dinilai melenceng dari tujuan semula. Selama ini, pengajaran SBI/RSBI lebih berorientasi pada pendidikan asing namun mengabaikan penanaman identitas Indonesia. Padahal, pengajaran seharusnya tetap berdasar pada nilai-nilai bangsa yang diperkaya dengan wawasan internasional. Hal itu diungkapkan Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY Suwarsih Madya di Yogyakarta, Senin (28/12). "Tujuan SBI/RSBI adalah mendidik anak-anak dengan identitas kebangsaan yang kuat dan bisa membawa identitas itu ke dunia internasional, bukan menyamakan pendidikan dengan kurikulum asing," tuturnya. Menurut Suwarsih, kecenderungan ini mengarah pada disorientasi pendidikan dan disorientasi budaya. Pelajar SBI/RSBI dikhawatirkan mempunyai pengetahuan mengenai budaya dan kondisi negara asing namun semakin tidak mengenal budaya dan kondisi di sekelilingnya. Untuk mengembalikan SBI/RSBI pada tujuan semula, Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY berencana memperkaya pengajaran SBI/RSBI dengan muatan seni dan budaya. Selain itu akan diberikan pula pendidikan karakter untuk mengasah daya kritis pelajar SBI/RSBI. Indikasi melencengnya pendidikan SBI/RSBI antaralain pengajaran yang diutamakan pada penguasaan bahasa Inggris dan makin banyaknya sekolah yang mengajukan diri untuk bisa menjadi penyelenggara tes Cambridge (Cambridge Center) atau sertifikasi pendidikan yang diakui secara internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar