Selasa, 29 Mei 2012

TUGAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan dalam masyarakat adalah poligami karena mengundang pandangan yang kontroversial. Poligami adalah ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu istri dalam waktu yang sama. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligami. Selain poligami, dikenal juga poliandri. Jika dalam poligami, suami yang memiliki beberapa istri, dalam poliandri sebaliknya, justru istri mempunyai beberapa suami dalam waktu yang sama. Akan tetapi, dibandingkan poligami, bentuk poliandri tidak banyak dipraktekkan. Praktek poliandri hanya dijumpai pada beberapa suku tertentu, seperti suku Tuda dan suku-suku di Tibet.
Kebalikan dari poligami adalah monogami, yaitu ikatan perkawinan yang terdiri dari seorang suami dan istri. Suami hanya mempunyai satu istri. Istilah lainnya monogami. Dalam realitas sosiologis di masyarakat, monogami lebih banyak dipraktekkan karena dirasakan paling sesuai dengan tabiat manusia dan merupakan bentuk perkawinan yang paling menjanjikan kedamaian.
Makalah ini dibuat untuk meluruskan tentang isu-isu poligami yang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan di masyarakat.

1.2  Tujuan
1.      Memenuhi tugas Pendidikan Agama Islam.
2.      Mengetahui apa sebenarnya poligami dan selingkuh.
3.      Mengupas secara dalam tentang poligami dan selingkuh.

1.3  Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan poligami dan selingkuh?
2.      Bagaimana sejarah poligami?
3.      Apakah alasan berpoligami?
4.      Bagaimana praktek poligami Rasulullah SAW?
5.      Apa saja landasan-landasan teologis islam poligami?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Poligami
Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan dalam masyarakat adalah poligami karena mengundang pandangan yang kontroversial. Poligami adalah ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu istri dalam waktu yang sama. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligami. Selain poligami, dikenal juga poliandri. Jika dalam poligami, suami yang memiliki beberapa istri, dalam poliandri sebaliknya, justru istri mempunyai beberapa suami dalam waktu yang sama. Akan tetapi, dibandingkan poligami, bentuk poliandri tidak banyak dipraktekkan. Praktek poliandri hanya dijumpai pada beberapa suku tertentu, seperti suku Tuda dan suku-suku di Tibet.
Kebalikan dari poligami adalah monogami, yaitu ikatan perkawinan yang terdiri dari seorang suami dan istri. Suami hanya mempunyai satu istri. Istilah lainnya monogami. Dalam realitas sosiologis di masyarakat, monogami lebih banyak dipraktekkan karena dirasakan paling sesuai dengan tabiat manusia dan merupakan bentuk perkawinan yang paling menjanjikan kedamaian.
Selingkuh adalah ketika orang melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan komitmennya. Selingkuh itu haram, jika dilakukan oleh seseorang yang telah memiliki istri atau suami. Selingkuh sama juga dengan berzina.


2.2  Sejarah Poligami
Banyak orang salah paham tentang poligami. Mereka mengira poligami itu baru dikenal setelah Islam. Mereka menganggap Islamlah yang membawa ajaran tentang poligami. Pendapat demikian sungguh keliru dan menyesatkan.
Mahmud Syaltut (w. 1963), ulama besar asal Mesir, secara tegas menolak poligami sebagai bagian dari ajaran Islam, dan juga menolak bahwa poligami ditetapkan oleh syariah.
Berabad-abad sebelum Islam diwahyukan, masyarakat manusia diberbagai belahan dunia telah mengenal dan mempratikkan poligami. Poligami dipraktikkan secara luas dikalangan masyarakat Yunani, Persia, dan Mesir kuno. Di Jazirah Arab sendiri jauh sebelum Islam, masyarakatnya telah mempraktikkan poligami, malahan poligami yang tak terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku ketika itu memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku mempunyai istri sampai ratusan.
Sejumlah riwayat menjelaskan bahwa setelah turun ayat yang membatasi jumlah istri hanya empat orang turun, yakni QS AL-NISA’:[4]:3. Nabi segera memerintahkan semua laki-laki yang memiliki istri lebih dari empat agar menceraikan istri-istrinya sehingga setiap suami maksimal hanya boleh punya empat istri. Karena itu, Al-Aqqad, ulama Mesir, menyimpulkan bahwa Islam tidak mengajarkan poligami, tidak juga memandang positif, apalagi mewajibkan, Islam hanya membolehkan dengan syarat yang sangat ketat. Sangat disesalkan dalam praktiknya di masyarakat, mayoritas umat Islam hanya terpaku pada kebolehan poligami, tetapi mengabaikan syarat yang ketat itu.
Ketika Islam datang, kebiasaan poligami itu tidak serta merta dihapuskan. Namun, setelah ayat yang menyinggung soal poligami diwahyukan, Nabi lalu melakukan perubahan yang radikal sesuai dengan petunjuk kandungan ayat. Perubahan mendasar yang dilakukan Nabi berkaitan dengan dua hal.
Pertama, membatasi jumlah bilangan istri hanya sampai empat. Sejumlah riwayat memaparkan pembatasan poligami tersebut di antaranya riwayat dari Naufal ibn Muawiyah. Ia berkata : “Ketika aku masuk Islam, aku memiliki lima orang istri. Rasulullah berkata : “Ceraikanlah yang satu dan pertahankan yang empat. Pada riwayat lain Qais ibn Tsabit berkata : “Ketika masuk Islam aku punya delapan istri. Aku menyampaikan hal itu kepada Rasul dan beliau berkata : “pilih dari mereka empat orang.” Riwayat serupa dari Ghailan ibn Salamah Al-Tsaqafi menjelaskan bahwa dirinya punya sepuluh orang istri, lalu Rasul bersabda : “Pilih empat orang dan ceraikan yang lainnya.”
Kedua, menetapkan syarat yang ketat bagi poligami, yaitu harus mampu berlaku adil. Persyaratan yang ditetapkan bagi kebolehan poligami yang sangat berat, dan hampir-hampir dapat dipastikan tidak ada yang mampu memenuhinya. Artinya, Islam memperketat syarat poligami sedemikian rupa sehingga kaum laki-laki tidak boleh lagi semena-mena terhadap istri mereka seperti sedia kala. Dengan demikian, terlihat bahwa praktik poligami di masa Islam sangat berbeda dengan praktik poligami sebelumnya. Perbedaan itu menonjol pada dua hal.
Pertama, pada bilangan istri, dari tidak terbatas jumlahnya menjadi dibatasi hanya empat. Pembatasan ini dirasakan sangat berat, sebab laki-laki masa itu sudah terbiasa dengan banyak istri, lalu mereka disuruh memilih empat saja dan menceraikan selebihnya.
Kedua, pada syarat poligami, yaitu harus mampu adil. Sebelumnya, poligami itu tidak mengenal syarat apa pun, termasuk syarat keadilan. Akibatnya, poligami banyak membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi kaum perempuan, karena para keharusan berlaku adil, sehingga mereka berlaku aniaya dan semena-mena mengikuti luapan nafsunya.

2.3  Alasan Berpoligami
Sebelum menjelaskan bagaimana sesungguhnya praktik poligami yang dilakukan Rasul, ada baiknya dipaparkan terlebih dahulu berbagai alasan yang melatarbelakangi praktik poligami di masyarakat. Dengan demikian dapat diketahui apakah alasan kebolehan poligami sebagaimana tertuang dalam teks-teks suci sama dengan alasan yang ditemukan dalam realitas sesungguhnya di masyarakat. Ataukah telah terjadi distorsi dalam praktik poligami di masyakat.
Alasan pertama dan yang sangat mendasar bagi maraknya praktik poligami di masyarakat adalah bahwa poligami merupakan sunnah Nabi dan memiliki landasan teologis yang jelas yakni ayat 3 surah Al-Nisa’. Karena itu, melarang poligami berarti melarang hal yang mubah atau dibolehkan Allah dan itu berarti menentang ketetapan Allah. Menentang ketetapan Allah berarti berdosa besar.
Pertama-tama perlu diluruskan pengertian masyarakat yang keliru mengenai sunnah. Sunnah adalah keseluruhan perilaku Nabi, dalam bentuk ketetapan, ucapan, tindakan yang mencakup selutuh aspek kehidupan beliau sebagai Nabi dan Rasul. Akan tetapi, di masyarakat pengertian sunnah Nabi selalu dikaitkan dengan poligami. Ini berarti mereduksi makna sunnah itu sendiri. Sunnah Nabi yang paling mengemuka adalah komitmennya yang begitu kuat untuk menegakkan keadilan dan kedamaian di masyarakat. Jika umat Islam sungguh-sungguh ingin mengikuti sunnah Nabi, maka seharusnya umat Islam lebih serius memperjuangkan tegaknya keadilan dan kedamaian. Namun, dalam realitasnya umat Islam mempraktikkan poligami, tetapi melupakan pesan moral Islam untuk menegakkan keadilan. Itu berarti jauh dari sunnah Nabi, malah sebaliknya melanggar sunnah.
Berikutnya, sungguh sangat naif mendasarkan kebolehan poligami hanya pada satu ayat, atau bahkan hanya pada setengah ayat. Padahal sudah dijelaskan di awal tulisan ini bahwa perbincangan tentang poligami harus diletakkan dalam konteks perbincangan tentang perkawinan. Berbicara tentang perkawinan, dalam Al-Quran terdapat lebih dari seratus ayat, sehingga sangat tidak logis memahami poligami dengan hanya bersandar pada satu atau bahkan setengah ayat, dan mengabaikan ayat-ayat lainnya yang lebih relevan untuk dijadikan dasar hukum.
Kalaupun dibenarkan berdalil pada satu ayat saja (meski ini sangat tidak logis), maka sesungguhnya pemahaman kelompok yang pro poligami terhadap teks ayat tersebut juga tidak utuh. Pertama, mari kita lihat bunyi teksnya: “Maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senang : dua, tiga, empat, ... atau budak-budak perempuan yang kamu miliki.” Secara jelas teks ayat itu membolehkan perbudakan. Akan tetapi, mengapa para pendukung bunyi literal teks tersebut memegang teguh kebolehan poligami, namun mengabaikan kebolehan menggauli budak-budak perempuan? Dalam kaitan ini, Nasr Hamid Abu Zayd, pemikir kontemporer Mesir menjelaskan sebenarnya pengikut aliran yang pro poligami yang disebutnya sebagai pengikut Salafi, tidak menghilangkan indikasi “budak yang dimiliki” itu secara sengaja, tetapi mereka sulit menerima kenyataan bahwa hilangnya hukum menggauli budak perempuan merupakan kemenangan dan sekaligus konsekuensi logis dari perjuangan umat manusia untuk mendapatkan hak-hak dan kebebasan asasi mereka. Artinya, jika perbudakan dapat dihapuskan dari kehidupan masyarakat secara bertahap, maka poligami juga seharusnya seperti itu. Apabila kita berpegang pada bunyi teks secara utuh maka perbudakan tetap harus dijalankan. Lalu, apa alasannya perbudakan tidak dilakukan lagi padahal teksnya tetap membolehkan hal itu?
Argumen lain yang sering disampaikan kelompok pro poligami bahwa terhadap teks yang sudah jelas kandungan hukumnya seperti ayat poligami ini tidak berlaku ijtihad atasnya. Sebab, ijtihad hanya boleh dikenakan pada persoalan yang belum ada teks (nash)nya. Argumen tersebut dapat dipatahkan dengan menunjuk kasu ijtihad Umar ibn Al-Khattab, Kahlifah Rasyidin ketiga. Ketika terjadi musim paceklik beliau mengabaikan hukum potong tangan terhadap dua orang budak yang mencuri harta tuan mereka sebagaimana tertera dalam nash yang sangat tegas maknanya (qat’i al-dalalah). Bahkan, sebaliknya beliau mengancam menghukum sang tuan dengan potong tangan manakala kedua budak tadi kembali mencuri. Alasannya, bahwa dalam kondisi paceklik seperti itu adalah menjadi tanggung jawab para penguasa dan para pemilik modal untuk menjaga kesejahteraan masyarakat. Berkenaan dengan Umar ibn Al-Khattab, hampir semua umat Islam sepakat bahwa beliau adalah sahabat yang paling tegas memegang aturan dan norma Islam. Kasus tersebut seharusnya memberikan inspirasi kepada para ulama untuk tetap berijtihad agar ajaran Islam dapat menjawab berbagai tuntutan historis dari dinamika perkembangan umat Islam. Bukankah selalu didengungkan pendapat: al-Islam shalih li kulli makan wa zaman (Islam itu kondusif untuk semua tempat dan sepanjang masa).
Alasan kedua yang sering diangkat di masyarakat dalam perbincangan mengenai poligami adalah kelebihan jumlah perempuan atas laki-laki. Pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Sebab, jika mengacu kepada data Biro Pusat Statistik yang dimaksudkan dengan kelebihan jumlah perempuan adalah perempuan yang berusia di bawah 12 tahun dan di atas 60 tahun karena usia perempuan rata-rata lebih panjang daripada usia laki-laki. Logikanya, kalau ingin poligami, pilihlah perempuan di bawah umur atau lewat umur. Akan tetapi, menikahi perempuan di bawah umur dalam konteks sekarang sebagai suatu kejahatan terhadap kemanusiaan karena melanggar HAM. Jadi hanya ada satu pilihan, yakni menikahi perempuan lanjut usia seperti contohkan Nabi, dan ini agaknya dapat mengurangi problem sosial yang ada.
Menurut Muthahhari, ulama asal Iran, melarang poligami berarti merampas hak perempuan untuk menikah. Kaum perempuan yang dirampas hak alaminya itu adalah suatu entitas yang hidup yang mampu melakukan segala macam reaksi apabila hak-hak mereka direnggut. Entitas itu adalah jiwa dengan segala kesadaran mental dan emosional serta kompleks psikis yang timbul dari frustasi-frustasi. Entitas itu adalah perempuan dengan daya magis kewanitaan; mereka putri-putri Hawa dengan segala potensi untuk menipu putra-putra Adam. Mereka akan melakukan suatu pembalasan dendam yang sempurna terhadap tatanan sosial dunia. Mereka akan membuat bencana, akan menghancurkan rumah tangga dan keluarga, serta menciptakan problem-problem yang kompleks, dendam, dan iri. Celakalah masyarakat manusia ketika mereka dihadapi masalah-masalah yang disertai dorongan naluri. Kaum perempuan yang kehilangan dayanya untuk menikah lantaran poligami dilarang untuk menggoda laki-laki.  Mereka yang tidak kukuh dan goyah akan terperosok dengan mudah.
Pandangan Muthahari tersebut sangat bias nilai-nilai patriarkis karena menampilkan pandangan yang stereotipe ini tidak jarang dijumpai dalam kitab-kitab fiqih yang mengulas tentang relasi jender. Pandangan yang bias tersebut menjadikan umat Islam sulit sekali menegakkan hak-hak perempuan. Pertanyaan yang muncul adalah apakah setiap perempuan yang belum menikah akan memiliki dengki dan rasa iri terhadap perempuan lain yang kebetulan menikah dan berumah tangga? Apakah perempuan yang tidak menikah itu akan berubah menjadi iblis yang akan menghancurkan tatanan sosial dunia, memporakporandakan kehidupan rumah tangga, dan menimbulkan berbagai problem.
Memang tidak dapat disangkal bahwa di masyarakat dijumpai perempuan-perempuan yang keji dan berhati iblis seperti digambarkan di atas, tetapi laki-laki yang memiliki perangai buruk seperti itu juga tidak kurang banyaknya. Artinya, kaum perempuan itu ada yang jahat ada pila yang saleh, sama halnya dengan laki-laki. Tidak ada data yang akurat bahwa perempuan yang tidak menikah akan berpeluang menjadi penghancur rumah tangga. Sebaliknya, sangat mungkin perempuan yang tidak menikah menjadi lebih saleh ketimbang perempuan yang sudah menikah. Tidak menikah bukanlah sebuah label negatif yang dapat dijadikan alasan untuk menggolongkan seorang perempuan sebagai tidak saleh dan penggoda. Pandangan tersebut berangkat dari pemahaman bahwa menikah merupakan hak bagi setiap manusia, termasuk perempuan dan menghalangi poligami berarti menentang ketetapan Tuhan. Berkenaan dengan ini saya pertama-tama ingin menegaskan bahwa perkawinan itu bukanlah keharusan, terlebih lagi bukan kewajiban sebagaiman dipahami dalam masyarakat. Hukum dasar perkawinan adalah mubah (boleh). Perempuan bebas memilih menikah atau tidak menikah. Kalau menikah mendatangkan menfaat dan kebajikan bagi dirinya maka menikah lebih dianjurkan. Sebaliknya jika perkawinan itu menyebabkan kesengsaraan dan ketidakadilan, maka sebaiknya ditunda.
Alasan ketiga bagi para pelaku poligami adalah karena istri mandul atau berpenyakit kronis yang sulit disembuhkan. Manusia diciptakan Tuhan dalam kondisi fisik yang berbeda-beda; ada yang kuat lagi sehat, ada yang lemah sakit-sakitan, ada yang lengkap dan sempurna, ada pula yang cacat. Poligami dalam Islam diperbolehkan mengingat perbedaan-perbedaan fisik manusia ini. Masyarakat Muslim di berbagai belahan dunia, umumnya membenarkan poligami dengan alasan yang berkenaan dengan hak laki-laki mendapatkan keturunan dan mereka menyebut alasan tersebut sebagai alami. Apakah betul istri yang mandul? Sebab, pernyataan bahwa istri mandul biasanya hanya datang dari pihak suami, tanpa melakukan pemeriksaan medis secara sempurna. Pernyataan berikutnya, bagaimana kalau suami yang mandul atau cacat atau berpenyakit? Jika kondisi tersebut menimpa suami apakah sudah dipikirkan jalan keluarnya?
Menghindari selingkuh dan zina merupakan alasan lain untuk berpoligami. Argumen yang sering dilontarkan oleh kelompok pro poligami adalah bahwa dengan poligami para suami terhindar dari perbuatan mengumbar nafsu seksual mereka secara semena-mena. Kelompok ini beralasan bahwa banyak cara yang dapat ditempuh kaum laki-laki untuk mengumbar nafsunya tanpa harus repot-repot dengan urusan perkawinan, tidak perlu terlibat dengan urusan tanggung jawab mengurus anak-anak dan rumah tangga, seperti dalam bentuk cinta bebas, prostitusi, promiskuitas, dan keserba-bebasan seks. Seorang laki-laki yang berpoligami pada prinsipnya adalah laki-laki yang mengumbar nafsunya dengan bayaran yang mahal, karena ia harus menjadikan perempuan yang mau melayani kepuasan seksualnya itu sebagai istri yang sah dan harus dinafkahi sebagaimana istrinya yang alin, bahkan anak-anak dari istrinya itu juga menjadi tanggung jawabnya. Dengan alasan ini mereka yang setuju denga poligami mengecam tradisi Barat yang hipokrit. Menurut mereka, poligami itu Timur mengambil bentuk yang sah, yakni menikahi perempuan dan bertanggung jawab atas anak yang dilahirkan, sementara intim Barat mengambil bentuk hubungan intim tidak sah, yakni dlam pengumbaran nafsu seksual terhadap kekasih atau teman perempuan dengan tidak menikahinya dan tidak pula bertanggung jawab terhadap anak yang dialhirkan. Pertanyaan kritis munccul, apakah betul dalam perkawinan poligami laki-laki memenuhi tanggung jawabnya? Dalam teorinya harus demikian, namun dalam praktiknya ternyata tidak. Begitu banyak istri dan anak-anak terlantar akibat poligami. Jadi, poligami di Timur dan perselingkuhan di Barat sama-sama melecehkan harkat dan martabat perempuan, sama-sama menimbulkan problem sosial. Oleh karena itu, keduanya harus dihapuskan dari kehidupan masyarakat.
Agama pada hakekatnya diturunkan untuk lebih memanusiakan manusia, sehingga berbeda dengan satwa dan makhluk biadab lainnya. Salah satu ajaran agama adalah mendidik manusia agar mampu menjaga organ-organ reproduksinya dan tidak mengumbar nafsu seksualnya sedemikian rupa. Itulah akhlak Islam yang telah dicontohkan dengan sempurna pada diri Nabi. Salah satu cara untuk menjaga kesucian organ-organ reproduksi itu adalah melalui perkawinan. Karena itu, perzinaan, perselingkuhan, dan segala bentuk seksual yang tidak sah diharamkan dalam Islam. Dalam konteks hubungan suami-istri, selingkuh yang dilakukan oleh suami pasti akan menyakitkan istri. menyakiti perasaan istri sangat bertentangan dengan prinsip perkawinan Islam: wa asyiruhunna bil ma’ruf (perlakukan istrimu secara santun), demikian juga sebaliknya dilarang menyakiti perasaan suami. Poligami pada hakekatnya adalah selingkuh yang dilegalkan, dan karenanya jauh lebih menyakitkan perasaan istri. Isl am menuntun manusia agar menjauhi selingkuh, dan sekaligus menghindari poligami.
Islam menuntun pengikutnya: laki-laki dan perempuan agar mampu menjaga organ-organ reproduksinya dengan benar sehingga tidak terjerumus pada segala bentuk pemuasan syahwat yang dapat mengantarkan pada kejahatan terhadap kemanusiaan.
Mudahnya Praktik Poligami Dilakukan
Ada beberapa faktor yang menyebabkan praktik poligami ditengah masyarakat sangat mudah dilaksanakan antara lain:
1).      Isi perundang-undangan yang mengatur tentang poligami belum sempurna. Walaupun perundangan kita telah mengatur prosedur permohonan poligami yang rumit karena harus melalui proses sidang Pengadilan Agama, namun sebenarnya banyak sekali celah-celah kekurangan dari peraturan tersebut yang mengakibatkan angka poligami jadi meningkat. Penyebabnya adalah tidak adanya sanksi tegas dari pelaku poligami yang tetap melakukan perkawinan poligami tanpa izin dari istri pertama dan tanpa proses Pengadilan Agama. Akibatnya banyak terjadi perka­winan poligami yang dilakukan secara ilegal/informal'. Perkawinan poligami tanpa izin dari istri tidak diakui di hadapan hukum positif. Hal ini tentu saja tidak akan berpengaruh sama sekali bagi pihak suami. Namun bagi istri kedua, ketiga atau keempat, jelas mereka dirugikan dengan absennya kekuatan hukum perkawinan mereka yang mengakibatkan mereka tidak dapat menuntut suami jika suami melanggar hak-haknya:
"istri" tidak dapat menggugat cerai suami, dan tidak dapat melaporkan perbuatan suaminya jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
2).  Ketidakjelasan perundang-undang di dalam menen-tukan kondisi apa saja yang dapat meluluskan suatu pennohonan untuk poligami. Dalam Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam hanya disebutkan, Pengadilan Agama memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
(a) istri tidak dapat menj alankan kewajiban sebagai istri
Isi peraturan ini bersifat 'abstrak' (lihat KHI Pasal 77-84). Ketidakjelasan pengertian tentang kondisi istri yang menyebabkan suami dapat melakukan poligami. Ini adalah ketidakadilan bagi istri. Bisa saja terjadi kasus bahwa benar dari sekian kewajiban seorang istri ada yang tak dapat terlaksana dengan baik. Tetapi bukankah sebagai manusia biasa seseorang punya kekurangan? Bagaimana jika pada saat yang sama, menurut penilaian istri, suami juga tidak dapat menunaikan kewajibannya secara sempurna, namun tidak mendorong istri untuk melakukan perkawinan poliandri (menikah dengan laki-laki lain)?
Dalam menjalankan rumah tangga sesungguhnya kewajiban bukan hanya terletak pada istri saja, akan tetapi dilakukan secara bersama-sama dengan suami. Jadi isi ayat ini tidak adil bagi istri dan menyudutkan posisi wanita.
(b) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
Jika keadaan istri sudah demikian, bagi kaum suami hal ini adalah 'peluang emas' bagi dirinya untuk menikahi wanita lain. Apalagi sekarang banyak sekali naib-naib (penghulu tidak resmi) yang dengan senang hati melakukan pernikahan 'bawah tangan'. Alasan utama naib tidak resmi kebanyakan adalah sebenarnya dalam hukum Islam (fiqih), perkawinan dianggap sah walaupun tanpa pencatatan resmi dari pemerintah. Pernikahan dalam ficfih madzhab Syafi'i dianggap sah jika telah memenuhi lima persyaratan yaitu adanya pengantin laki-laki, adanya wali dari pengantin perempuan, adanya saksi, mahar, dan ijab qabul (serah terima). Kebanyakan, "praktik poligami illegal" dilakukan melalui pernikahan bawah tangan melalui naib tak resmi atau dilakukan secara tidak resmi (tidak dicatat di KUA) walau melalui naib resmi.
(c) istri tidak dapat melahirkan keturunan
Banyak terjadi penyelewengan pelaksanaan perkawinan di Kantor Urusan Agama yang dilakukan oleh oknum tertentu dengan cara menerima suap. Penyelewengan yang dilakukan oknum KUA antara lain adalah dengan mengubah data calon pengantin pria yang seharusnya berstatus sudah menikah dengan status bujangan atau dengan tetap melaksanakan pernikahan walaupun tanpa surat keputusan dari Pengadilan Agama atau pernyataan izin dari istri pertama.
Ketidakjelasan hak dan perlindungan terhadap kaum istri atau wanita dikarenakan sosialisasi mengenai peraturan tentang poligami masih banyak kekurangannya. Terlebih lagi masih banyak wanita yang menentang poligami namun tidak mengetahui hal-hal apa yang dapat ia lakukan jika musibah itu terjadi pada diri mereka. Sebenarnya, dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 71 butir (a) dinyatakan bahwa suatu perkawinan dari seorang suami yang poligami tanpa seizin Pengadilan Agama dapat dibatalkan. Akan tetapi pada kenyataannya hal tidak pernah terjadi laki-laki yang telah berpoligami dibatalkan perkawinannya.
Akibat ketidaktahuan para istri tentang peraturan ini membuat banyak kaum istri yang dipoligami hanya bisa pasrah dan berpikir bahwa tidak ada yang dapat mereka lakukan kecuali pasrah, atau memohon cerai. Faktor lain yang mendorong suburnya praktik perkawinan poligami yang dilakukan oleh tokoh masyarakat dan beberapa selebriti. Hal mi secara tidak langsung menjadikan para laki-laki merasa "dimenangkan" dan berpikir bahwa kini perkawinan poligami boleh dilakukan oleh siapa saja dan itu bukan merupakan pilihan buruk karena banyak orang dan banyak tokoh yang mengerti khususnya tentang hukum Islam juga telah melakukan poligami.
Hak-Hak Perempuan Masih Minim
Pada kenyataannya banyak kaum istri atau wanita yang menjadi korban madu poligami suami yang tidak bisa mengadukan nasibnya kepada hukum. Sehingga hal ini menyebabkan hak-hak perempuan masih sangat minim. Penghapusan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1990 tentang larangan poligami bagi pegawai negeri hanya mengubah karakter poligami yang dulunya dilakukan diam-diam menjadi terang-terangan, dan tidak menjadikan pegawai negeri yang hendak berpoligami menghentikan langkahnya karena masih banyak cara lain yang dapat ditempuh dengan mudah.

2.4  Praktek poligami Rasulullah SAW
Tidak sedikit orang keliru memahami praktik poligami Nabi Muhammad SAW., termasuk kaum muslim sendiri. Ada anggapan bahwa poligami itu sunnah nabi jika demikian mengapa nabi tidak melakukan poligami sejak awal berumah tangga? Bukankah dalam masyarakat Arab Jahiliyah ketika itu poligami merupakan tradisi yang sudah beurat akar? Dalam praktiknya nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Nabi bermonogami selama kurang lebih 28tahun semantara berpoligami hanya sekitar 7tahun. Nabi ternyata lebih memilih monogami di tengah-tengah masyarakat yang memandang poligami sebagai hal yang lumrah, sebaliknya segelintir umat islam yang propoligami justru mempraktikan poligami di tengah-tengah masyarakat mayoritas monogami. Ada lagi anggapan bahwa nabi melakukan poligami dengan tujuan sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan pengikutnya, yakni untuk memenuhi tuntutan biologis atau hanya untuk memuaskan syahwat dan hasrat seksualnya. Anggapan itu muncul berdasarkan realitas di masyarakat bahwa poligami dilakukan untuk tujuan biologis semata.
Untuk dapat memahami poligami nabi secara benar dan proporsional, seseorang terlebih dahulu harus mengerti aspek historis dari ajaran islam. Paling tidak, mengerti dan menghayati sejarah perjalanan hidup pribadi Nabi Muhammad SAW. Diketahui secara luas bahwa jauh sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul Allah yang terakhir, figur Muhammad telah dikenal luas dikalangan masyarakat Arab sebagai orang yang paling alim dan paling jujur sehingga beliau mendapat gelar al-amin. Berbeda dengan pemuda lain pada masanya, Muhammad tidak terpengaruh sedikit pun pada tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab yang biasa melecehkan perempuan, senang minum-minuman keras, gemar berjudi, dan berbagai perbuatan bejat lainnya.
Nabi menikah pertama kali dengan Khadijah binti Khuwailid. Ketika itu usia beliau 25tahun, sementara Khadijah berumur 40tahun. Sejarah mencatat betapa bahagianya perkawinan Nabi itu. Pasangan bahagia tersebut dianugerahi enam orang anak, 4 permpuan dan 2 laki-laki, namun kedu anak laki-lakinya meninggal ketika masih kanak-kanak. Sampai Khadijah wafat, Nabi tidak menikah dengan perempuan lain. Berbeda dengan perlakuan kebanyakan suami terhadap istrinya, Nabi tidak pernah menunjukkan sikap otoriter dan dominan. Nabi memperlakukan Khadijah bukan sebagai objek bawahan, namun memposisikan Khadijah sebagai mitra dialog dan sahabat terkasih tempat mencurahkan sega problem, kegalaunan, dan keresahan hati, terutama di saat beliau memulai tugas risalahnya sebagi Nabi dan Rasul Allah.
Pada diri Khadijah yang penuh wibawa dan cinta kasih, Nabi menemukan tempat berteduh dan mengadu, tempat berbagi suka dan duga. Khadijah adalah figur perempuan yang berakhlak mulia, aktif, dan penuh semangat serta memiliki kepedulian sosial yang amat tinggi.
Nabi sungguh-sngguh merupakan uswah hasanah kaum laki-laki dalam hal kemampuan menjaga hasrat biologis agar tidak diumbar, kecuali terhadap istri. Kesalehan Nabi telah dikenal sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan Rasul, padahal masyarakat pada waktu itu menganut pola perkawinan polgami tak terbatas, dan segala bentuk pelecehan seksual terhadap perempuan.
Di mata masyarakat Arab ketika itu Nabi sangat wajar jika menikah lagi karena beliau adalah keturunan tokoh Quraisy terkemuka dan memiliki wajah yang rupawan. Nabi memiliki semua pesona yang dengan mudah dapat dijadikan alasam untuk berpoligami, tetapi nyatanya Nabi lebih memilih monogami. Perkawinan Nabi yang monogami dan penuh kebahagian itu berlangsung selama 28 tahun, 17 tahun dijalani di masa sebelum kerasulan (qabla bi’tsah), dan11 tahun sesudah masa kerasulan (bada’ bi’tsah).
Dua tahun setelah wafatnya Khadijah Nabi baru menikah lagi, yaitu dengan Saudah bint Zam’ah, Aisah bint Abu Bakar, hafsah bint Umar ibn Al-Khattab, Ummu Salamah, Ummu Habibah, Zainab bint Jahsy, Zainab bint Khuzaimah, Juwaytiyah bint Haris, Safiyyah bint Huyay, Rayhanah bint Zaid, dan Maimunah bint Harits. Jarak pernikahan Nabi sangat pendek. Nabi wafat pada tahun 632 Masehi atau tahun 10 Hijriyah. Satu-satunya istri Nabi yang masih perawan dan berusia muda hanya Aisah bint abu Bakar, yang lain rata-rata telah berumur, punya anak, dan janda dari para sahabat yang gugur dalam membela Islam. Alasan Nabi berpoligami sangat jauh dari tuntutan memenuhi kepuasan biologis, sebagaimana yang dipersepsikan orang terhadapnya. Keadaan Nabi yang saleh, digambarkan dalam hadist berikut. Suatu ketika Amrah bint Abdurrahman berkata :
Rasulullah ditanyai, Ya Rasul mengapa engkau tidak menikahi perempuan dari kalangan Anshar yang beberapa di antara mereka terkenal kecantikannya? Rasul menjawab : “Mereka perempuan-perempuan yangg memiliki rasa cemburu yang besar dan tidak akan bersabar dimadu. Aku mempunyai beberapa istri, dan aku tidak suka menyakiti kaum berkenaan dengan hal itu.
Jawaban Rasul di atas mengandung perngetian bahwa poligami pada hakekatnya menyakiti hati perempuan.

2.5  Landasan-landasan teologis Islam poligami
Untuk memahami secara baik dan benar mengenai apa yang yang terkandung di dalam ayat yang dikatakan menjustifikasi poligami tersebut hendaknya diresapi dahulu makna QS Al-Nisa’, [4]:1.
يٰأَ يُّهَاالنَّاسُ اتَّقُوْارَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍوَّخَلَقَ مِنْهَازَوْجَهَاوَبَثَّ مِنْهُمَارِجَالًاكَثِيْرًاوَّنِسَآءًوَاتَّقُواللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ اِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
Artinya:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada yang telah menciptakan kamu dari nafs yang satu, dan ri nafs yang satu itu pula Allah menciptakan pasangannya; dan kemudian dari dua pasangan itulah Allah mengembangbiakkan (ke seluruh bumi) laki-laki dan perempuan yang sangat banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dnegan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain. Dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.
Menelaah Peraturan Poligami Dari Sisi Hukum Islam
Secara hukum positif yang berlaku di Indonesia membenarkan dan mengijinkan praktik poligami dan menyatakan bahwa seorang laki-laki dapat 'beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya pada empat orang istri' (tercantum di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 55 Ayat 1). Namun, diperbolehkannya poligami bukan tanpa syarat.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 55 Ayat 2 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan secara jelas bahwa syarat utama bagi laki-laki yang hendak beristri lebih dari seorang, maka ia harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Hal yang sama juga diungkap dalam Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam, disebutkan bahwa poligami hanya dapat dilakukan "dengan izin istri pertama" setelah melalui sidang Pengadilan Agama.
Dari kedua persyaratan yang tersirat dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, jelas pelaksanaan poligami akan sulit direalisasikan karena:
1).      Jarang ada wanita yang rela dirinya dimadu dan memberikan izin kepada suami untuk menikahi wanita lain di dalam tali perkawinan rumah tangga mereka.
2).      Pengertian 'perlakuan adil' terhadap istri-istri yang dinikahi suaminya ini penjabarannya sulit untuk diukur hanya melalui alat ukur materia saja. Dengan demikian, izin untuk suami berpoligami akan sulit didapat dari istri pertama. Akibatnya banyak fakta terjadi ditengah masyarakat laki-laki yang menikah lagi secara diam-diam tanpa sepengetahuan dari istri pertama.
Kebijakan dari kedua peraturan yang mensyaratkan "perkawinan poligami" baru bisa dilakukan apabila suami telah mendapat izin dari istri pertama kepada suami berpoligami sangat membantu pihak istri untuk "mempersulit" terjadinya poligami. Walaupun kebijakan ini kerap diselewengkan para suami dengan berbagai cara. Misalnya mengancam istri agar diberikan izin untuk menikah lagi dengan berbagai cara.

Penghapusan PP 10 tahun 1990 tidak banyak membantu para istri kedua, ketiga, dan keempat di dalam men dapatkan kekuatan hukum dari pemikahan mereka karena. faktanya banyak perkawinan poligami dilakukan melalui cara pemikahan bawah tangan.
Masalah perkawinan poligami yang kini ramai diperbincangkan menjelang akhir tahun 2006 telah merepotkan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meuthia Hatta, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, dan Dirjen Bimas Islam Departemen Agama Nazaruddin Umar, serta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara untuk melakukan perubahan terhadap UU No 1 tahun 1974 dan PP No. 10 tahun 1990 berkaitan untuk memberikan masalah perlindungan dan merumuskan sanksi hukum pidana bagi suami atau laki-laki poligami yang melakukan pelanggaran terhadap kaum perempuan, istri dan anak-anak yang menjadi korban poligami suami.

Perdebatan UU Perkawinan dan Campurtangan Pemerintah
Sigapnya Presiden SBY dan star kementeriannya untuk melakukan berbagai perubahan terhadap ketentuan perkawinan adalah untuk menanggapi keresahan dikalangan masyarakat. Tetapi justru mat baik Presiden SBY untuk memperbaiki isi UU dan Pasal tentang perkawinan malah membuat masyarakat cemas. Pasalnya, dikabarkan peraturan baru itu kelak akan menyertakan pember-lakuannya terhadap masyarakat umum, jadi tidak lagi ditujukan kepada pegawai negeri sipil, pejabat negara dan kalangan ABRI.
Secara jelas peraturan mengenai perkawinan poligami telah diatur dalam UU No 1/1974 (UU tentang Perkawinan) yang mengatur bahwa perkawinan diatur sesuai dengan ketentuan agama yang dianut oleh vang melakukan perkawinan. Jadi, bila Islam memperbolehkan poligami dengan sejumlah syarat, maka "negara tidak boleh mencampurinya" dengan melarang poligami. Semestinya kewajiban negara adalah sebatas melindungi pihak perempuan dengan menentukan persyaratan yang ketat dan mengawasi pelaksanaan perkawinan poligami tersebut.
Begitu juga kalau UU Perkawinan mengakomodasi hukum Islam, tidak mengizinkan perkawinan lintas agama bagi yang beragama Islam, tidak berarti negara melarang atau tidak mengizinkan pernikahan lintas agama oleh pemeluk agama lain. Sesungguhnya keputusan "menikah dan melakukan pernikahan" dalam bentuk monogami atau poligami adalah hak asasi setiap manusia. Karena pada hakekatnya, tujuan perkawinan adalah sebagai syarat menuju kehidupan berkeluarga yang menjadi hak asasi setiap manusia. Karena itu, negara hanya berkewajiban mencatat perkawinan warganya termasuk termasuk pemeluk agama yang tidak diakui secara resmi oleh negara, seperti Kong Hu Chu dan agama Karuhun atau perkawinan
Negara semestinya hanya memfasilitasi atau mengurusi secara terbatas tanpa terlibat dalam substansi hukum agama dan memberi kebebasan hak azasi kepada setiap warga negaranya sesuai dengan ketentuan agama yang berlaku dari masing-masing agama.
Tiga Draf Usulan Perubahan Tentang Poligami
Kita tunggu saja hasil perubahan isi peraturan perkawinan dan sanksi hukum apa yang akan dikeluarkan Presiden SBY berserta staf kementeriannya. Sebagai bahan masukan saat ini sudah ada tiga versi draf usulan perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), yang masing-masing dibuat oleh Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Kowani, dan LBH-Apik. Ketiga-tiganya sama-sama menolak. Dengan demikian setidaknya memperketaf poligami, dengan argumentasi yang sama, yaitu poligami merupakan bentuk subordinasi laki-laki terhadap perempuan karena semata-mata didasarkan pada superioritas dan kepentingan laki-laki. Perempuan dalam hal ini selalu dalam posisi sebagai obyek, apakah dalam status sebagai istri pertama maupun kedua, dan seterusnya.
Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dikabarkan akan merombak sebagian isi dari UU dan PP tentang perkawinan terutama yang menyangkut masalah poligami. Dari kedua peraturan tersebut akan banyak pasal yang harus disempurnakan karena tidak sesuai prinsip kesetaraan dan keadilan jender. Terutama yang berkaitan dengan poligami, yaitu Pasal 3, 4, dan 5, serta pasal lain yang terkait.
Pasal 3 Ayat 1 dan 2 berbunyi:
(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita "hanya boleh" mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan". Pernyataan tersebut kontradiktif, dalam Ayat 1 dikatakan hanya boleh, artinya mengandung pengertian adanya larangan, tetapi dalam Ayat 2 dikatakan "Pengadilan dapat memberi izin", atau membolehkan poligami. Dalam kaidah hukum kalimat tersebut tidak tegas, memiliki pengertian bertentangan antara satu dengan lainnya.
Oleh karena itu, tidak bisa dijadikan sebagai pedoman hukum, meskipun pernyataan pada Ayat 2 itu bersyarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 dan 5.
·                Pasal 4 berbunyi:
Suami wajib mengajukan pennohonan kepada penga-dilan di daerah tempat tinggalnya dan pengadilan memberikan izin apabila:
a) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c) istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Indikasi dari ketiga syarat tersebut pengertiannya kurang jelas dan tidak disertai penjelasan serta pembuktian dari pihak berwenang seperti tim dokter ahli yang independen yang tidak berpihak, keputusan pengadilan yang ditandatangani pejabat pengadilan dan sebagainya. Pertanyaannya adalah: bagaimana jika kondisi tersebut terjadi pada suami, apakah istri dapat melakukan gugatan cerai?. Di dalam UU dan PP tidak diatur, meskipun di dalam hukum Islam (ficjh/fikih) dikenal istilah "khulu' yaitu istri berhak memisahkan diri dari suamtnya dengan memberi ganti rugi karena alasan tertentu, termasuk seperti yang disebutkan dalam Pasal 4 Ayat 2 .
·                Pasal 5 berbunyi:
Syarat lain dari poligami:
a) adanya persetujuan dari istri/ istri-istri.
b) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil-terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Pada Sub pasal b dan c, tolak ukumya sangat sulit karena keperluan hidup seseorang, baik sebagai istri maupun anak- anak, terdiri atas dua komponen yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi dan nonmateri secara bersamaan.
Begitu juga pengertian mampu dalam Sub pasal b dan adil dalam Subpasal c, meliputi material dan nonmaterial. Selama ini, tolok ukumya selalu menurut ukuran suami, bukan menurut ukuran dan perasaan istri, dan bukan pula kesepakatan kedua belah pihak.
Siapa yang bisa menjamin ketika suami melakukan giliran pada istri tua, apakah ia bisa menghadirkan seluruh jiwa raga, pikiran, khayalan, dan perasaannya, bebas dari pengaruh istri mudanya? Yang dimungkinkan istri mudanya pasti memiliki "kelebihan" dibandingkan istri pertama. Jadi hal ini adalah sesuatu yang sangat tidak mungkin terjadi. Sebagaimana terungkap dalam firman Allah pada (QSAn-Nisaa':129):
"... .Dan kamu sekali-kali tidak dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin demikian,...."
LBH-Apik mengusulkan agar praktik poligami dihapuskan sama sekali karena bertentangan dengan UUD 1945, UU HAM, UU No 1/1984, GBHN 1999, dan Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Konsekuensinya Pasal 3 ayat 2 dihapuskan, begitu juga Pasal 4 dan 5.
Sementara Kowani mengusulkan untuk mempersulit • praktik poligami melalui pasal-pasal tersebut dengarL menambahkan persetujuan tertulis dari istri dan anak-anaknya yang telah dewasa yang dibuat di hadapan pejabat pengadilan. Suami menjamin tidak menceraikan istri pertama kecuali atas permintaan yang bersangkutan dengan tetap mendapat tunjangan hidup dari suami sampai si istri menikah lagi. Dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan memperketat praktik poligami melalui Pasal 4 dengan menambahkan syarat harus dengan keterangan dokter ahli.
Pasal lain yang perlu disempurnakan adalah Pasal 2 Ayat 2: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku". Pengertiannya, semua per­kawinan yang memenuhi syarat sesuai peraturan perun-dangan harus dicatat pihak berwenang. Bila tidak, secara hukum perkawinannya tidak sah dan pelakunya wajib dikenai sanksi. Persoalannya, sekali lagi, UUP tidak mencantumkan sanksi.
Semestinya peraturan mengenai poligami tidak dimasukkan dalam Bab I Dasar Perkawinan karena poligami bukan prinsip dasar perkawinan maupun prinsip dasar syar'iyyah. Karena bentuk perkawinan poligami adalah sebagai suatu bentuk perkawinan pengecualian yang amat sangat darurat (emergency exit}. Oleh karena itu hendaknya peraturan mengenai poligami harus diatur dalam pasal tersendiri lengkap dengan sanksi hukumnya. Beraneka ragamnya usulan perubahan UU Perkawinan yang menyangkut poligami hendaknya tidak menjadi masalah baru dalam masyarakat.
Mengenai Hak Cerai Bagi Istri
Di dalam Islam, jika suami merasa dirugikan dengan perilaku maupun kondisi istrinya, ia berhak menjatuhkan talak. Begitu juga sebaliknya bagi istri, jika ia merasa dirugikan dengan perilaku dan kondisi suaminya, ia pun dapat mengajukan 'khulu'.
Khulu dalam istilah fikih dinamakan juga tebusan karena istri menebus dirinya dari suaminya dengan mengembalikan emas kawin sebagaimana yang dia terima ketika pernikahan. Menurut ahli fikih, 'khulu' adalah istri memisahkan diri dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya. (sumber: Sayyid Sabiq, Ficjh Sunnah, Juz 8).
Khulu baru bisa dilakukan apabila ada alasan yang benar, misalnya suami tidak dapat memenuhi kewa-jibannya, cacat fisik yang dapat mengganggu kehar-monisan, perilakunya jelek, dan sebagainya yang dapat mencegah tercapainya tujuan perkawinan.
Selain itu 'khulu' dapat terjadi dengan persetujuan atau tanpa persetujuan suami. Jika tidak tercapai persetujuan antara suami- istri, pengadilan dapat menjatuhkan khulu kepada suami.
Di dalam perkawinan poligami maka kaum istri bisa menggugat "cerai" apabila ia menerima perlakuan tidak adil sebagaimana disyaratkan dalam Al Qur'an, yaitu suami yang hendak melakukan perkawinan poligami harus mampu bersikap adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya dalam hal pemberian materi dan non materi (perhatian dan kasih sayang).
Di manakah peran negara? Sejauh manakah negara dapat mengatur kehidupan keluarga dan relasi jender?
Bagaimana dan atas dasar apa negara dapat mengatur hak atas tubuh perempuan, perkawinan, dan perceraian, serta keinginan perempuan menolak poligami??? Karena tidak ada satu butir pun di dalam peraturan perundang-undangan perkawinan yang memberikan hak bagi istri atau perempuan untuk "menolak atau menentang" perkawinan poligami yang dilakukan suami (yang dilakukan secara diam-diam tanpa persetujuan istri pertama).
Pada UU Nomor 1 Tahun 1974, hanya menjelaskan hak suami untuk memiliki pasangan hidup lebih dari satu (poligami)? Untuk menjawab hak-hak dan per-lindungan kaum perempuan diharapkan pemerintah mampu menjawabnya dalam kebijakan atau peraturan perundang-undangan yang baru mengenai perkawinan dan poligami, sehingga tidak ada kesenjangan kodrat yang merendahkan martabat perempuan sebagai symbol seksual dalam kehidupan perkawinan. Diharapkan peratuaran ketat perkawinan ini akan menghanguskan kasus perselingkuhan yang marak terjadi ditengah masyarakat, terutama di kalangan public dan pemimpin. eksekutif, legislatif, dan pemuka agama.
Kita harap pemerintah dapat memberikan perlin-dungan bagi perempuan dan istri-istri untuk mem­berikan hak tolaknya terhadap perkawinan poligami apabila ia menemukan kasus suami melakukan per­kawinan poligami secara diam-diam, menelantarkan anak istri dan melakukan tindak kekerasan di dalam rumah tangga.
Tabel
Kasus Perceraian Akibat Poligami Tidak Sehat di Pengadilan Tinggi Agama Seluruh Indonesia (1996-2001)
Tahun
Jumlah kasus

Akibat Poligami Tidak Sehat

Prosentase Perceraian akibat poligami (%)

Propinsi tertinggi jumlah perceraian akibat poligami

1996

97.356

519

0,53

104(Jatim)

1997

67.894

705

1,04

396 (Jabar)

1998

103.416

590

0,53

108(Jatim)

1999

183.805

828

0,45

403 (Jabar)

2000

145.609

875

0,60

385 (Jabar)

2001

145.081

938

0,62

261 (Jabar)

Angka tertinggi kasus perceraian teriadi di wilayah Jawa Barat (Jabar) pada tahun 1999 dengan jumlah kasus 183.805 dan perceraian akibat poligami sebanyak 403 orang istri yang menguggat cerai suami karena tidak rela dimadu.
(Sumber: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Depag RI)


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Poligami telah dikenal jauh sebelum Islam, bahkan telah menjadi tradisi yang kuat di berbagai masyarakat dunia, termasuk dalam masyarakat Arab. Poligami sebelum Islam mengambil bentuk yang tak terbatas.
·      Dalam agama Islam poligami hukumnya mubah. Sebenarnya poligami tidak berasal dari agama Islam, hanya saja Islam memperbolehkan. Dalam Islam poligami hanya diperbolehkan maksimal empat orang istri, selebihnya tidak boleh.
·      Poligami lebih baik daripada selingkuh, karena selingkuh berarti berzina dan itu hukumnya haram.
·      Poligami diperbolehkan jika istri sakit-sakitan, lemah, mandul, dan istri mengidap penyakit menular.

3.2  Saran

Hendaknya kita lebih hati-hati dalam mempelajari Islam. Belajarlah Islam sepenuhnya, jangan setengah-setengah atau ikut-ikutan saja. Karena jika sampai salah, maka kita bisa terjebak tanpa kita sadari.

DAFTAR PUSTAKA

 Eni, Setiati, Dra. 2007. Hitam Putih Poligami. Jakarta : Cisera Publishing.
 Mulia, Siti Musdah. 2007. Islam Menggugat Poligami. Jakarta : Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar