BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Salah satu bentuk perkawinan yang
sering diperbincangkan dalam masyarakat adalah poligami karena mengundang pandangan
yang kontroversial. Poligami adalah ikatan perkawinan dalam hal mana suami
mengawini lebih dari satu istri dalam waktu yang sama. Laki-laki yang melakukan
bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligami. Selain poligami,
dikenal juga poliandri. Jika dalam poligami, suami yang memiliki beberapa
istri, dalam poliandri sebaliknya, justru istri mempunyai beberapa suami dalam
waktu yang sama. Akan tetapi, dibandingkan poligami, bentuk poliandri tidak
banyak dipraktekkan. Praktek poliandri hanya dijumpai pada beberapa suku
tertentu, seperti suku Tuda dan suku-suku di Tibet.
Kebalikan dari poligami adalah
monogami, yaitu ikatan perkawinan yang terdiri dari seorang suami dan istri.
Suami hanya mempunyai satu istri. Istilah lainnya monogami. Dalam realitas
sosiologis di masyarakat, monogami lebih banyak dipraktekkan karena dirasakan
paling sesuai dengan tabiat manusia dan merupakan bentuk perkawinan yang paling
menjanjikan kedamaian.
Makalah ini
dibuat untuk meluruskan tentang isu-isu poligami yang sedang hangat-hangatnya
diperbincangkan di masyarakat.
1.2
Tujuan
1. Memenuhi tugas Pendidikan Agama Islam.
2. Mengetahui apa sebenarnya poligami dan selingkuh.
3. Mengupas secara dalam tentang poligami dan selingkuh.
1.3
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan poligami dan selingkuh?
2. Bagaimana sejarah poligami?
3. Apakah alasan berpoligami?
4. Bagaimana praktek poligami Rasulullah SAW?
5. Apa saja landasan-landasan teologis islam poligami?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Poligami
Salah satu bentuk perkawinan yang
sering diperbincangkan dalam masyarakat adalah poligami karena mengundang
pandangan yang kontroversial. Poligami adalah ikatan perkawinan dalam hal mana
suami mengawini lebih dari satu istri dalam waktu yang sama. Laki-laki yang
melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligami. Selain
poligami, dikenal juga poliandri. Jika dalam poligami, suami yang memiliki
beberapa istri, dalam poliandri sebaliknya, justru istri mempunyai beberapa
suami dalam waktu yang sama. Akan tetapi, dibandingkan poligami, bentuk
poliandri tidak banyak dipraktekkan. Praktek poliandri hanya dijumpai pada
beberapa suku tertentu, seperti suku Tuda dan suku-suku di Tibet.
Kebalikan dari poligami adalah
monogami, yaitu ikatan perkawinan yang terdiri dari seorang suami dan istri.
Suami hanya mempunyai satu istri. Istilah lainnya monogami. Dalam realitas
sosiologis di masyarakat, monogami lebih banyak dipraktekkan karena dirasakan
paling sesuai dengan tabiat manusia dan merupakan bentuk perkawinan yang paling
menjanjikan kedamaian.
Selingkuh adalah ketika orang
melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan komitmennya. Selingkuh itu haram,
jika dilakukan oleh seseorang yang telah memiliki istri atau suami. Selingkuh
sama juga dengan berzina.
2.2 Sejarah Poligami
Banyak orang salah paham tentang
poligami. Mereka mengira poligami itu baru dikenal setelah Islam. Mereka
menganggap Islamlah yang membawa ajaran tentang poligami. Pendapat demikian
sungguh keliru dan menyesatkan.
Mahmud Syaltut (w. 1963), ulama
besar asal Mesir, secara tegas menolak poligami sebagai bagian dari ajaran
Islam, dan juga menolak bahwa poligami ditetapkan oleh syariah.
Berabad-abad sebelum Islam
diwahyukan, masyarakat manusia diberbagai belahan dunia telah mengenal dan mempratikkan
poligami. Poligami dipraktikkan secara luas dikalangan masyarakat Yunani,
Persia, dan Mesir kuno. Di Jazirah Arab sendiri jauh sebelum Islam,
masyarakatnya telah mempraktikkan poligami, malahan poligami yang tak terbatas.
Sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku ketika itu memiliki
puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku mempunyai istri sampai ratusan.
Sejumlah riwayat menjelaskan
bahwa setelah turun ayat yang membatasi jumlah istri hanya empat orang turun,
yakni QS AL-NISA’:[4]:3. Nabi segera memerintahkan semua laki-laki yang
memiliki istri lebih dari empat agar menceraikan istri-istrinya sehingga setiap
suami maksimal hanya boleh punya empat istri. Karena itu, Al-Aqqad, ulama
Mesir, menyimpulkan bahwa Islam tidak mengajarkan poligami, tidak juga
memandang positif, apalagi mewajibkan, Islam hanya membolehkan dengan syarat
yang sangat ketat. Sangat disesalkan dalam praktiknya di masyarakat, mayoritas
umat Islam hanya terpaku pada kebolehan poligami, tetapi mengabaikan syarat
yang ketat itu.
Ketika Islam datang, kebiasaan
poligami itu tidak serta merta dihapuskan. Namun, setelah ayat yang menyinggung
soal poligami diwahyukan, Nabi lalu melakukan perubahan yang radikal sesuai
dengan petunjuk kandungan ayat. Perubahan mendasar yang dilakukan Nabi
berkaitan dengan dua hal.
Pertama, membatasi
jumlah bilangan istri hanya sampai empat. Sejumlah riwayat memaparkan
pembatasan poligami tersebut di antaranya riwayat dari Naufal ibn Muawiyah. Ia
berkata : “Ketika aku masuk Islam, aku memiliki lima orang istri. Rasulullah
berkata : “Ceraikanlah yang satu dan pertahankan yang empat. Pada
riwayat lain Qais ibn Tsabit berkata : “Ketika masuk Islam aku punya delapan
istri. Aku menyampaikan hal itu kepada Rasul dan beliau berkata : “pilih
dari mereka empat orang.” Riwayat serupa dari Ghailan ibn Salamah
Al-Tsaqafi menjelaskan bahwa dirinya punya sepuluh orang istri, lalu Rasul
bersabda : “Pilih empat orang dan ceraikan yang lainnya.”
Kedua, menetapkan
syarat yang ketat bagi poligami, yaitu harus mampu berlaku adil. Persyaratan
yang ditetapkan bagi kebolehan poligami yang sangat berat, dan hampir-hampir
dapat dipastikan tidak ada yang mampu memenuhinya. Artinya, Islam memperketat
syarat poligami sedemikian rupa sehingga kaum laki-laki tidak boleh lagi
semena-mena terhadap istri mereka seperti sedia kala. Dengan
demikian, terlihat bahwa praktik poligami di masa Islam sangat berbeda dengan
praktik poligami sebelumnya. Perbedaan itu menonjol pada dua hal.
Pertama, pada bilangan
istri, dari tidak terbatas jumlahnya menjadi dibatasi hanya empat. Pembatasan
ini dirasakan sangat berat, sebab laki-laki masa itu sudah terbiasa dengan
banyak istri, lalu mereka disuruh memilih empat saja dan menceraikan
selebihnya.
Kedua, pada syarat
poligami, yaitu harus mampu adil. Sebelumnya, poligami itu tidak mengenal
syarat apa pun, termasuk syarat keadilan. Akibatnya, poligami banyak membawa
kesengsaraan dan penderitaan bagi kaum perempuan, karena para keharusan berlaku
adil, sehingga mereka berlaku aniaya dan semena-mena mengikuti luapan nafsunya.
2.3 Alasan Berpoligami
Sebelum menjelaskan bagaimana
sesungguhnya praktik poligami yang dilakukan Rasul, ada baiknya dipaparkan
terlebih dahulu berbagai alasan yang melatarbelakangi praktik poligami di
masyarakat. Dengan demikian dapat diketahui apakah alasan kebolehan poligami
sebagaimana tertuang dalam teks-teks suci sama dengan alasan yang ditemukan
dalam realitas sesungguhnya di masyarakat. Ataukah telah terjadi distorsi dalam
praktik poligami di masyakat.
Alasan pertama dan yang sangat
mendasar bagi maraknya praktik poligami di masyarakat adalah bahwa poligami
merupakan sunnah Nabi dan memiliki landasan teologis yang jelas yakni ayat 3
surah Al-Nisa’. Karena itu, melarang poligami berarti melarang hal yang mubah
atau dibolehkan Allah dan itu berarti menentang ketetapan Allah. Menentang
ketetapan Allah berarti berdosa besar.
Pertama-tama perlu diluruskan
pengertian masyarakat yang keliru mengenai sunnah. Sunnah adalah keseluruhan
perilaku Nabi, dalam bentuk ketetapan, ucapan, tindakan yang mencakup selutuh
aspek kehidupan beliau sebagai Nabi dan Rasul. Akan tetapi, di masyarakat
pengertian sunnah Nabi selalu dikaitkan dengan poligami. Ini berarti mereduksi
makna sunnah itu sendiri. Sunnah Nabi yang paling mengemuka adalah komitmennya
yang begitu kuat untuk menegakkan keadilan dan kedamaian di masyarakat. Jika
umat Islam sungguh-sungguh ingin mengikuti sunnah Nabi, maka seharusnya umat
Islam lebih serius memperjuangkan tegaknya keadilan dan kedamaian. Namun, dalam
realitasnya umat Islam mempraktikkan poligami, tetapi melupakan pesan moral Islam
untuk menegakkan keadilan. Itu berarti jauh dari sunnah Nabi, malah sebaliknya
melanggar sunnah.
Berikutnya, sungguh sangat naif
mendasarkan kebolehan poligami hanya pada satu ayat, atau bahkan hanya pada
setengah ayat. Padahal sudah dijelaskan di awal tulisan ini bahwa perbincangan
tentang poligami harus diletakkan dalam konteks perbincangan tentang
perkawinan. Berbicara tentang perkawinan, dalam Al-Quran terdapat lebih dari
seratus ayat, sehingga sangat tidak logis memahami poligami dengan hanya
bersandar pada satu atau bahkan setengah ayat, dan mengabaikan ayat-ayat
lainnya yang lebih relevan untuk dijadikan dasar hukum.
Kalaupun dibenarkan berdalil pada
satu ayat saja (meski ini sangat tidak logis), maka sesungguhnya pemahaman
kelompok yang pro poligami terhadap teks ayat tersebut juga tidak utuh.
Pertama, mari kita lihat bunyi teksnya: “Maka kawinilah perempuan-perempuan
yang kamu senang : dua, tiga, empat, ... atau budak-budak perempuan yang kamu
miliki.” Secara jelas teks ayat itu membolehkan perbudakan. Akan tetapi,
mengapa para pendukung bunyi literal teks tersebut memegang teguh kebolehan
poligami, namun mengabaikan kebolehan menggauli budak-budak perempuan? Dalam
kaitan ini, Nasr Hamid Abu Zayd, pemikir kontemporer Mesir menjelaskan
sebenarnya pengikut aliran yang pro poligami yang disebutnya sebagai pengikut
Salafi, tidak menghilangkan indikasi “budak yang dimiliki” itu secara sengaja,
tetapi mereka sulit menerima kenyataan bahwa hilangnya hukum menggauli budak
perempuan merupakan kemenangan dan sekaligus konsekuensi logis dari perjuangan
umat manusia untuk mendapatkan hak-hak dan kebebasan asasi mereka. Artinya,
jika perbudakan dapat dihapuskan dari kehidupan masyarakat secara bertahap,
maka poligami juga seharusnya seperti itu. Apabila kita berpegang pada bunyi
teks secara utuh maka perbudakan tetap harus dijalankan. Lalu, apa alasannya
perbudakan tidak dilakukan lagi padahal teksnya tetap membolehkan hal itu?
Argumen lain yang sering
disampaikan kelompok pro poligami bahwa terhadap teks yang
sudah jelas kandungan hukumnya seperti ayat poligami ini tidak berlaku ijtihad
atasnya. Sebab, ijtihad hanya boleh dikenakan pada persoalan yang belum ada
teks (nash)nya. Argumen tersebut dapat dipatahkan dengan menunjuk kasu
ijtihad Umar ibn Al-Khattab, Kahlifah Rasyidin ketiga. Ketika terjadi musim
paceklik beliau mengabaikan hukum potong tangan terhadap dua orang budak yang
mencuri harta tuan mereka sebagaimana tertera dalam nash yang sangat tegas
maknanya (qat’i al-dalalah). Bahkan, sebaliknya beliau mengancam menghukum sang
tuan dengan potong tangan manakala kedua budak tadi kembali mencuri. Alasannya,
bahwa dalam kondisi paceklik seperti itu adalah menjadi tanggung jawab para
penguasa dan para pemilik modal untuk menjaga kesejahteraan masyarakat.
Berkenaan dengan Umar ibn Al-Khattab, hampir semua umat Islam sepakat bahwa
beliau adalah sahabat yang paling tegas memegang aturan dan norma Islam. Kasus
tersebut seharusnya memberikan inspirasi kepada para ulama untuk tetap
berijtihad agar ajaran Islam dapat menjawab berbagai tuntutan historis dari dinamika
perkembangan umat Islam. Bukankah selalu didengungkan pendapat: al-Islam
shalih li kulli makan wa zaman (Islam itu kondusif untuk semua tempat dan
sepanjang masa).
Alasan kedua yang sering diangkat
di masyarakat dalam perbincangan mengenai poligami adalah kelebihan jumlah
perempuan atas laki-laki. Pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Sebab, jika
mengacu kepada data Biro Pusat Statistik yang dimaksudkan dengan kelebihan
jumlah perempuan adalah perempuan yang berusia di bawah 12 tahun dan di atas 60
tahun karena usia perempuan rata-rata lebih panjang daripada usia laki-laki.
Logikanya, kalau ingin poligami, pilihlah perempuan di bawah umur atau lewat
umur. Akan tetapi, menikahi perempuan di bawah umur dalam konteks sekarang
sebagai suatu kejahatan terhadap kemanusiaan karena melanggar HAM. Jadi hanya
ada satu pilihan, yakni menikahi perempuan lanjut usia seperti contohkan Nabi,
dan ini agaknya dapat mengurangi problem sosial yang ada.
Menurut Muthahhari, ulama asal
Iran, melarang poligami berarti merampas hak perempuan untuk menikah. Kaum
perempuan yang dirampas hak alaminya itu adalah suatu entitas yang hidup yang
mampu melakukan segala macam reaksi apabila hak-hak mereka direnggut. Entitas itu
adalah jiwa dengan segala kesadaran mental dan emosional serta kompleks psikis
yang timbul dari frustasi-frustasi. Entitas itu adalah perempuan dengan daya
magis kewanitaan; mereka putri-putri Hawa dengan segala potensi untuk menipu
putra-putra Adam. Mereka akan melakukan suatu pembalasan dendam yang sempurna
terhadap tatanan sosial dunia. Mereka akan membuat bencana, akan menghancurkan
rumah tangga dan keluarga, serta menciptakan problem-problem yang kompleks,
dendam, dan iri. Celakalah masyarakat manusia ketika mereka dihadapi
masalah-masalah yang disertai dorongan naluri. Kaum perempuan yang kehilangan
dayanya untuk menikah lantaran poligami dilarang untuk menggoda laki-laki. Mereka yang tidak kukuh dan goyah akan
terperosok dengan mudah.
Pandangan Muthahari tersebut
sangat bias nilai-nilai patriarkis karena menampilkan pandangan yang stereotipe
ini tidak jarang dijumpai dalam kitab-kitab fiqih yang mengulas tentang relasi
jender. Pandangan yang bias tersebut menjadikan umat Islam sulit sekali menegakkan
hak-hak perempuan. Pertanyaan yang muncul adalah apakah setiap perempuan yang
belum menikah akan memiliki dengki dan rasa iri terhadap perempuan lain yang
kebetulan menikah dan berumah tangga? Apakah perempuan yang tidak menikah itu
akan berubah menjadi iblis yang akan menghancurkan tatanan sosial dunia,
memporakporandakan kehidupan rumah tangga, dan menimbulkan berbagai problem.
Memang tidak dapat disangkal
bahwa di masyarakat dijumpai perempuan-perempuan yang keji dan berhati iblis
seperti digambarkan di atas, tetapi laki-laki yang memiliki perangai buruk
seperti itu juga tidak kurang banyaknya. Artinya, kaum perempuan itu ada yang
jahat ada pila yang saleh, sama halnya dengan laki-laki. Tidak ada data yang
akurat bahwa perempuan yang tidak menikah akan berpeluang menjadi penghancur
rumah tangga. Sebaliknya, sangat mungkin perempuan yang tidak menikah menjadi
lebih saleh ketimbang perempuan yang sudah menikah. Tidak menikah bukanlah
sebuah label negatif yang dapat dijadikan alasan untuk menggolongkan seorang
perempuan sebagai tidak saleh dan penggoda. Pandangan tersebut berangkat dari
pemahaman bahwa menikah merupakan hak bagi setiap manusia, termasuk perempuan
dan menghalangi poligami berarti menentang ketetapan Tuhan. Berkenaan dengan
ini saya pertama-tama ingin menegaskan bahwa perkawinan itu bukanlah keharusan,
terlebih lagi bukan kewajiban sebagaiman dipahami dalam masyarakat. Hukum dasar
perkawinan adalah mubah (boleh). Perempuan bebas memilih menikah atau tidak
menikah. Kalau menikah mendatangkan menfaat dan kebajikan bagi dirinya maka
menikah lebih dianjurkan. Sebaliknya jika perkawinan itu menyebabkan
kesengsaraan dan ketidakadilan, maka sebaiknya ditunda.
Alasan ketiga bagi para pelaku
poligami adalah karena istri mandul atau berpenyakit kronis yang sulit
disembuhkan. Manusia diciptakan Tuhan dalam kondisi fisik yang berbeda-beda;
ada yang kuat lagi sehat, ada yang lemah sakit-sakitan, ada yang lengkap dan
sempurna, ada pula yang cacat. Poligami dalam Islam diperbolehkan mengingat
perbedaan-perbedaan fisik manusia ini. Masyarakat Muslim di berbagai belahan
dunia, umumnya membenarkan poligami dengan alasan yang berkenaan dengan hak
laki-laki mendapatkan keturunan dan mereka menyebut alasan tersebut sebagai
alami. Apakah betul istri yang mandul? Sebab, pernyataan bahwa istri mandul
biasanya hanya datang dari pihak suami, tanpa melakukan pemeriksaan medis
secara sempurna. Pernyataan berikutnya, bagaimana kalau suami yang mandul atau
cacat atau berpenyakit? Jika kondisi tersebut menimpa suami apakah sudah
dipikirkan jalan keluarnya?
Menghindari selingkuh dan zina
merupakan alasan lain untuk berpoligami. Argumen yang sering dilontarkan oleh
kelompok pro poligami adalah bahwa dengan poligami para suami terhindar dari
perbuatan mengumbar nafsu seksual mereka secara semena-mena. Kelompok ini
beralasan bahwa banyak cara yang dapat ditempuh kaum laki-laki untuk mengumbar
nafsunya tanpa harus repot-repot dengan urusan perkawinan, tidak perlu terlibat
dengan urusan tanggung jawab mengurus anak-anak dan rumah tangga, seperti dalam
bentuk cinta bebas, prostitusi, promiskuitas, dan keserba-bebasan seks. Seorang
laki-laki yang berpoligami pada prinsipnya adalah laki-laki yang mengumbar
nafsunya dengan bayaran yang mahal, karena ia harus menjadikan perempuan yang
mau melayani kepuasan seksualnya itu sebagai istri yang sah dan harus dinafkahi
sebagaimana istrinya yang alin, bahkan anak-anak dari istrinya itu juga menjadi
tanggung jawabnya. Dengan alasan ini mereka yang setuju denga poligami mengecam
tradisi Barat yang hipokrit. Menurut mereka, poligami itu Timur mengambil
bentuk yang sah, yakni menikahi perempuan dan bertanggung jawab atas anak yang
dilahirkan, sementara intim Barat mengambil bentuk hubungan intim tidak sah,
yakni dlam pengumbaran nafsu seksual terhadap kekasih atau teman perempuan
dengan tidak menikahinya dan tidak pula bertanggung jawab terhadap anak yang
dialhirkan. Pertanyaan kritis munccul, apakah betul dalam perkawinan poligami
laki-laki memenuhi tanggung jawabnya? Dalam teorinya harus demikian, namun
dalam praktiknya ternyata tidak. Begitu banyak istri dan anak-anak terlantar
akibat poligami. Jadi, poligami di Timur dan perselingkuhan di Barat sama-sama
melecehkan harkat dan martabat perempuan, sama-sama menimbulkan problem sosial.
Oleh karena itu, keduanya harus dihapuskan dari kehidupan masyarakat.
Agama pada hakekatnya diturunkan
untuk lebih memanusiakan manusia, sehingga berbeda dengan satwa dan makhluk
biadab lainnya. Salah satu ajaran agama adalah mendidik manusia agar mampu
menjaga organ-organ reproduksinya dan tidak mengumbar nafsu seksualnya
sedemikian rupa. Itulah akhlak Islam yang telah dicontohkan dengan sempurna pada
diri Nabi. Salah satu cara untuk menjaga kesucian organ-organ reproduksi itu
adalah melalui perkawinan. Karena itu, perzinaan, perselingkuhan, dan segala
bentuk seksual yang tidak sah diharamkan dalam Islam. Dalam konteks hubungan
suami-istri, selingkuh yang dilakukan oleh suami pasti akan menyakitkan istri.
menyakiti perasaan istri sangat bertentangan dengan prinsip perkawinan Islam: wa
asyiruhunna bil ma’ruf (perlakukan istrimu secara santun), demikian juga
sebaliknya dilarang menyakiti perasaan suami. Poligami pada hakekatnya adalah
selingkuh yang dilegalkan, dan karenanya jauh lebih menyakitkan perasaan istri.
Isl am menuntun manusia agar menjauhi
selingkuh, dan sekaligus menghindari poligami.
Islam menuntun pengikutnya: laki-laki
dan perempuan agar mampu menjaga organ-organ reproduksinya dengan benar
sehingga tidak terjerumus pada segala bentuk pemuasan syahwat yang dapat
mengantarkan pada kejahatan terhadap kemanusiaan.
Mudahnya Praktik Poligami Dilakukan
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan praktik poligami ditengah masyarakat sangat
mudah dilaksanakan antara lain:
1). Isi
perundang-undangan yang mengatur tentang poligami belum sempurna. Walaupun
perundangan kita telah mengatur prosedur permohonan poligami yang rumit karena
harus melalui proses sidang Pengadilan Agama, namun sebenarnya banyak sekali
celah-celah kekurangan dari peraturan tersebut yang mengakibatkan angka
poligami jadi meningkat. Penyebabnya adalah tidak adanya sanksi tegas dari
pelaku poligami yang tetap melakukan perkawinan poligami tanpa izin dari istri
pertama dan tanpa proses Pengadilan Agama. Akibatnya banyak terjadi perkawinan
poligami yang dilakukan secara ilegal/informal'. Perkawinan poligami tanpa izin
dari istri tidak diakui di hadapan hukum positif. Hal ini tentu saja tidak akan
berpengaruh sama sekali bagi pihak suami. Namun bagi istri kedua, ketiga atau
keempat, jelas mereka dirugikan dengan absennya kekuatan hukum perkawinan
mereka yang mengakibatkan mereka tidak dapat menuntut suami jika suami
melanggar hak-haknya:
"istri"
tidak dapat menggugat cerai suami, dan tidak dapat melaporkan perbuatan
suaminya jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
2). Ketidakjelasan perundang-undang di dalam
menen-tukan kondisi apa saja yang dapat meluluskan suatu pennohonan untuk
poligami. Dalam Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam hanya disebutkan,
Pengadilan Agama memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari
seorang apabila:
(a)
istri tidak dapat menj alankan kewajiban sebagai istri
Isi
peraturan ini bersifat 'abstrak' (lihat KHI Pasal 77-84). Ketidakjelasan
pengertian tentang kondisi istri yang menyebabkan suami dapat melakukan
poligami. Ini adalah ketidakadilan bagi istri. Bisa saja terjadi kasus bahwa
benar dari sekian kewajiban seorang istri ada yang tak dapat terlaksana dengan baik.
Tetapi bukankah sebagai manusia biasa seseorang punya kekurangan? Bagaimana
jika pada saat yang sama, menurut penilaian istri, suami juga tidak dapat
menunaikan kewajibannya secara sempurna, namun tidak mendorong istri untuk
melakukan perkawinan poliandri (menikah dengan laki-laki lain)?
Dalam
menjalankan rumah tangga sesungguhnya kewajiban bukan hanya terletak pada istri
saja, akan tetapi dilakukan secara bersama-sama dengan suami. Jadi isi ayat ini
tidak adil bagi istri dan menyudutkan posisi wanita.
(b)
istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
Jika
keadaan istri sudah demikian, bagi kaum suami hal ini adalah 'peluang emas'
bagi dirinya untuk menikahi wanita lain. Apalagi sekarang banyak sekali naib-naib
(penghulu tidak resmi) yang dengan senang hati melakukan pernikahan 'bawah
tangan'. Alasan utama naib tidak resmi kebanyakan adalah sebenarnya
dalam hukum Islam (fiqih), perkawinan dianggap sah walaupun tanpa
pencatatan resmi dari pemerintah. Pernikahan dalam ficfih madzhab Syafi'i
dianggap sah jika telah memenuhi lima persyaratan yaitu adanya pengantin
laki-laki, adanya wali dari pengantin perempuan, adanya saksi, mahar, dan ijab
qabul (serah terima). Kebanyakan, "praktik poligami illegal"
dilakukan melalui pernikahan bawah tangan melalui naib tak resmi atau
dilakukan secara tidak resmi (tidak dicatat di KUA) walau melalui naib resmi.
(c)
istri tidak dapat melahirkan keturunan
Banyak
terjadi penyelewengan pelaksanaan perkawinan di Kantor Urusan Agama yang
dilakukan oleh oknum tertentu dengan cara menerima suap. Penyelewengan yang
dilakukan oknum KUA antara lain adalah dengan mengubah data calon pengantin
pria yang seharusnya berstatus sudah menikah dengan status bujangan atau dengan
tetap melaksanakan pernikahan walaupun tanpa surat keputusan dari Pengadilan
Agama atau pernyataan izin dari istri pertama.
Ketidakjelasan
hak dan perlindungan terhadap kaum istri atau wanita dikarenakan sosialisasi
mengenai peraturan tentang poligami masih banyak kekurangannya. Terlebih lagi
masih banyak wanita yang menentang poligami namun tidak mengetahui hal-hal apa
yang dapat ia lakukan jika musibah itu terjadi pada diri mereka. Sebenarnya,
dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 71 butir (a) dinyatakan bahwa suatu
perkawinan dari seorang suami yang poligami tanpa seizin Pengadilan Agama dapat
dibatalkan. Akan tetapi pada kenyataannya hal tidak pernah terjadi laki-laki
yang telah berpoligami dibatalkan perkawinannya.
Akibat
ketidaktahuan para istri tentang peraturan ini membuat banyak kaum istri yang dipoligami
hanya bisa pasrah dan berpikir bahwa tidak ada yang dapat mereka lakukan
kecuali pasrah, atau memohon cerai. Faktor lain yang mendorong suburnya praktik
perkawinan poligami yang dilakukan oleh tokoh masyarakat dan beberapa
selebriti. Hal mi secara tidak langsung menjadikan para laki-laki merasa
"dimenangkan" dan berpikir bahwa kini perkawinan poligami boleh
dilakukan oleh siapa saja dan itu bukan merupakan pilihan buruk karena banyak
orang dan banyak tokoh yang mengerti khususnya tentang hukum Islam juga telah
melakukan poligami.
Hak-Hak Perempuan
Masih Minim
Pada
kenyataannya banyak kaum istri atau wanita yang menjadi korban madu poligami
suami yang tidak bisa mengadukan nasibnya kepada hukum. Sehingga hal ini
menyebabkan hak-hak perempuan masih sangat minim. Penghapusan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1990 tentang larangan poligami bagi pegawai negeri
hanya mengubah karakter poligami yang dulunya dilakukan diam-diam menjadi
terang-terangan, dan tidak menjadikan pegawai negeri yang hendak berpoligami
menghentikan langkahnya karena masih banyak cara lain yang dapat ditempuh
dengan mudah.
2.4 Praktek poligami Rasulullah
SAW
Tidak
sedikit orang keliru memahami praktik poligami Nabi Muhammad SAW., termasuk
kaum muslim sendiri. Ada anggapan bahwa poligami itu sunnah nabi jika demikian
mengapa nabi tidak melakukan poligami sejak awal berumah tangga? Bukankah dalam
masyarakat Arab Jahiliyah ketika itu poligami merupakan tradisi yang sudah beurat
akar? Dalam praktiknya nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Nabi
bermonogami selama kurang lebih 28tahun semantara berpoligami hanya sekitar
7tahun. Nabi ternyata lebih memilih monogami di tengah-tengah masyarakat yang
memandang poligami sebagai hal yang lumrah, sebaliknya segelintir umat islam
yang propoligami justru mempraktikan poligami di tengah-tengah masyarakat
mayoritas monogami. Ada lagi anggapan bahwa nabi melakukan poligami dengan
tujuan sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan pengikutnya, yakni untuk
memenuhi tuntutan biologis atau hanya untuk memuaskan syahwat dan hasrat
seksualnya. Anggapan itu muncul berdasarkan realitas di masyarakat bahwa
poligami dilakukan untuk tujuan biologis semata.
Untuk
dapat memahami poligami nabi secara benar dan proporsional, seseorang terlebih
dahulu harus mengerti aspek historis dari ajaran islam. Paling tidak, mengerti
dan menghayati sejarah perjalanan hidup pribadi Nabi Muhammad SAW. Diketahui
secara luas bahwa jauh sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul Allah yang
terakhir, figur Muhammad telah dikenal luas dikalangan masyarakat Arab sebagai
orang yang paling alim dan paling jujur sehingga beliau mendapat gelar al-amin.
Berbeda dengan pemuda lain pada masanya, Muhammad tidak terpengaruh sedikit pun
pada tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab yang biasa melecehkan perempuan,
senang minum-minuman keras, gemar berjudi, dan berbagai perbuatan bejat
lainnya.
Nabi
menikah pertama kali dengan Khadijah binti Khuwailid. Ketika itu usia beliau
25tahun, sementara Khadijah berumur 40tahun. Sejarah mencatat betapa bahagianya
perkawinan Nabi itu. Pasangan bahagia tersebut dianugerahi enam orang anak, 4
permpuan dan 2 laki-laki, namun kedu anak laki-lakinya meninggal ketika masih
kanak-kanak. Sampai Khadijah wafat, Nabi tidak menikah dengan perempuan lain.
Berbeda dengan perlakuan kebanyakan suami terhadap istrinya, Nabi tidak pernah
menunjukkan sikap otoriter dan dominan. Nabi memperlakukan Khadijah bukan
sebagai objek bawahan, namun memposisikan Khadijah sebagai mitra dialog dan
sahabat terkasih tempat mencurahkan sega problem, kegalaunan, dan keresahan
hati, terutama di saat beliau memulai tugas risalahnya sebagi Nabi dan Rasul
Allah.
Pada
diri Khadijah yang penuh wibawa dan cinta kasih, Nabi menemukan tempat berteduh
dan mengadu, tempat berbagi suka dan duga. Khadijah adalah figur perempuan yang
berakhlak mulia, aktif, dan penuh semangat serta memiliki kepedulian sosial
yang amat tinggi.
Nabi
sungguh-sngguh merupakan uswah hasanah kaum laki-laki dalam hal
kemampuan menjaga hasrat biologis agar tidak diumbar, kecuali terhadap istri.
Kesalehan Nabi telah dikenal sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan Rasul,
padahal masyarakat pada waktu itu menganut pola perkawinan polgami tak
terbatas, dan segala bentuk pelecehan seksual terhadap perempuan.
Di mata
masyarakat Arab ketika itu Nabi sangat wajar jika menikah lagi karena beliau
adalah keturunan tokoh Quraisy terkemuka dan memiliki wajah yang rupawan. Nabi
memiliki semua pesona yang dengan mudah dapat dijadikan alasam untuk
berpoligami, tetapi nyatanya Nabi lebih memilih monogami. Perkawinan Nabi yang
monogami dan penuh kebahagian itu berlangsung selama 28 tahun, 17 tahun
dijalani di masa sebelum kerasulan (qabla bi’tsah), dan11 tahun sesudah
masa kerasulan (bada’ bi’tsah).
Dua
tahun setelah wafatnya Khadijah Nabi baru menikah lagi, yaitu dengan Saudah
bint Zam’ah, Aisah bint Abu Bakar, hafsah bint Umar ibn Al-Khattab, Ummu
Salamah, Ummu Habibah, Zainab bint Jahsy, Zainab bint Khuzaimah, Juwaytiyah
bint Haris, Safiyyah bint Huyay, Rayhanah bint Zaid, dan Maimunah bint Harits.
Jarak pernikahan Nabi sangat pendek. Nabi wafat pada tahun 632 Masehi atau
tahun 10 Hijriyah. Satu-satunya istri Nabi yang masih perawan dan berusia muda
hanya Aisah bint abu Bakar, yang lain rata-rata telah berumur, punya anak, dan
janda dari para sahabat yang gugur dalam membela Islam. Alasan Nabi berpoligami
sangat jauh dari tuntutan memenuhi kepuasan biologis, sebagaimana yang dipersepsikan
orang terhadapnya. Keadaan Nabi yang saleh, digambarkan dalam hadist berikut.
Suatu ketika Amrah bint Abdurrahman berkata :
“Rasulullah
ditanyai, Ya Rasul mengapa engkau tidak menikahi perempuan dari kalangan Anshar
yang beberapa di antara mereka terkenal kecantikannya? Rasul menjawab : “Mereka
perempuan-perempuan yangg memiliki rasa cemburu yang besar dan tidak akan
bersabar dimadu. Aku mempunyai beberapa istri, dan aku tidak suka menyakiti
kaum berkenaan dengan hal itu. ”
Jawaban
Rasul di atas mengandung perngetian bahwa poligami pada hakekatnya menyakiti
hati perempuan.
2.5 Landasan-landasan teologis Islam
poligami
Untuk memahami secara baik dan
benar mengenai apa yang yang terkandung di dalam ayat yang dikatakan
menjustifikasi poligami tersebut hendaknya diresapi dahulu makna QS Al-Nisa’,
[4]:1.
يٰأَ يُّهَاالنَّاسُ
اتَّقُوْارَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍوَّخَلَقَ
مِنْهَازَوْجَهَاوَبَثَّ مِنْهُمَارِجَالًاكَثِيْرًاوَّنِسَآءًوَاتَّقُواللهَ الَّذِيْ
تَسَآءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ اِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
Artinya:
“Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada yang telah menciptakan kamu dari nafs yang satu, dan ri nafs
yang satu itu pula Allah menciptakan pasangannya; dan kemudian dari dua
pasangan itulah Allah mengembangbiakkan (ke seluruh bumi) laki-laki dan
perempuan yang sangat banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dnegan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain. Dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.
Menelaah Peraturan Poligami Dari Sisi Hukum Islam
Secara
hukum positif yang berlaku di Indonesia membenarkan dan mengijinkan praktik
poligami dan menyatakan bahwa seorang laki-laki dapat 'beristri lebih dari satu
orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya pada empat orang istri' (tercantum
di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 55 Ayat 1). Namun, diperbolehkannya
poligami bukan tanpa syarat.
Dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 55 Ayat 2 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 disebutkan secara jelas bahwa syarat utama bagi laki-laki yang hendak
beristri lebih dari seorang, maka ia harus mampu berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-anaknya. Hal yang sama juga diungkap dalam Pasal 56
Kompilasi Hukum Islam, disebutkan bahwa poligami hanya dapat dilakukan
"dengan izin istri pertama" setelah melalui sidang Pengadilan Agama.
Dari
kedua persyaratan yang tersirat dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, jelas pelaksanaan poligami akan sulit direalisasikan
karena:
1).
Jarang ada wanita yang rela dirinya
dimadu dan memberikan izin kepada suami untuk menikahi wanita lain di dalam
tali perkawinan rumah tangga mereka.
2). Pengertian 'perlakuan adil' terhadap
istri-istri yang dinikahi suaminya ini penjabarannya sulit untuk diukur hanya
melalui alat ukur materia saja. Dengan demikian, izin untuk suami berpoligami
akan sulit didapat dari istri pertama. Akibatnya banyak fakta terjadi ditengah
masyarakat laki-laki yang menikah lagi secara diam-diam tanpa sepengetahuan
dari istri pertama.
Kebijakan
dari kedua peraturan yang mensyaratkan "perkawinan poligami" baru
bisa dilakukan apabila suami telah mendapat izin dari istri pertama kepada
suami berpoligami sangat membantu pihak istri untuk "mempersulit"
terjadinya poligami. Walaupun kebijakan ini kerap diselewengkan para suami
dengan berbagai cara. Misalnya mengancam istri agar diberikan izin untuk
menikah lagi dengan berbagai cara.
Penghapusan
PP 10 tahun 1990 tidak banyak membantu para istri kedua, ketiga, dan keempat di
dalam men dapatkan kekuatan hukum dari pemikahan mereka karena. faktanya banyak
perkawinan poligami dilakukan melalui cara pemikahan bawah tangan.
Masalah
perkawinan poligami yang kini ramai diperbincangkan menjelang akhir tahun 2006
telah merepotkan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meuthia Hatta,
Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, dan Dirjen Bimas Islam Departemen
Agama Nazaruddin Umar, serta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dan Ibu Negara untuk
melakukan perubahan terhadap UU No 1 tahun 1974 dan PP No. 10 tahun 1990
berkaitan untuk memberikan masalah perlindungan dan merumuskan sanksi hukum
pidana bagi suami atau laki-laki poligami yang melakukan pelanggaran terhadap
kaum perempuan, istri dan anak-anak yang menjadi korban poligami suami.
Perdebatan UU Perkawinan dan Campurtangan Pemerintah
Sigapnya
Presiden SBY dan star kementeriannya untuk melakukan berbagai perubahan
terhadap ketentuan perkawinan adalah untuk menanggapi keresahan dikalangan
masyarakat. Tetapi justru mat baik Presiden SBY untuk memperbaiki isi UU dan
Pasal tentang perkawinan malah membuat masyarakat cemas. Pasalnya, dikabarkan
peraturan baru itu kelak akan menyertakan pember-lakuannya terhadap masyarakat
umum, jadi tidak lagi ditujukan kepada pegawai negeri sipil, pejabat negara dan
kalangan ABRI.
Secara
jelas peraturan mengenai perkawinan poligami telah diatur dalam UU No 1/1974
(UU tentang Perkawinan) yang mengatur bahwa perkawinan diatur sesuai dengan
ketentuan agama yang dianut oleh vang melakukan perkawinan. Jadi, bila Islam
memperbolehkan poligami dengan sejumlah syarat, maka "negara tidak boleh
mencampurinya" dengan melarang poligami. Semestinya kewajiban negara
adalah sebatas melindungi pihak perempuan dengan menentukan persyaratan yang
ketat dan mengawasi pelaksanaan perkawinan poligami tersebut.
Begitu
juga kalau UU Perkawinan mengakomodasi hukum Islam, tidak mengizinkan
perkawinan lintas agama bagi yang beragama Islam, tidak berarti negara melarang
atau tidak mengizinkan pernikahan lintas agama oleh pemeluk agama lain.
Sesungguhnya keputusan "menikah dan melakukan pernikahan" dalam
bentuk monogami atau poligami adalah hak asasi setiap manusia. Karena pada
hakekatnya, tujuan perkawinan adalah sebagai syarat menuju kehidupan
berkeluarga yang menjadi hak asasi setiap manusia. Karena itu, negara hanya
berkewajiban mencatat perkawinan warganya termasuk termasuk pemeluk agama yang
tidak diakui secara resmi oleh negara, seperti Kong Hu Chu dan agama Karuhun
atau perkawinan
Negara
semestinya hanya memfasilitasi atau mengurusi secara terbatas tanpa terlibat
dalam substansi hukum agama dan memberi kebebasan hak azasi kepada setiap warga
negaranya sesuai dengan ketentuan agama yang berlaku dari masing-masing agama.
Tiga Draf Usulan Perubahan Tentang Poligami
Kita
tunggu saja hasil perubahan isi peraturan perkawinan dan sanksi hukum apa yang
akan dikeluarkan Presiden SBY berserta staf kementeriannya. Sebagai bahan
masukan saat ini sudah ada tiga versi draf usulan perubahan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), yang masing-masing dibuat oleh Kantor
Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Kowani, dan LBH-Apik. Ketiga-tiganya
sama-sama menolak. Dengan demikian setidaknya memperketaf poligami, dengan
argumentasi yang sama, yaitu poligami merupakan bentuk subordinasi laki-laki
terhadap perempuan karena semata-mata didasarkan pada superioritas dan
kepentingan laki-laki. Perempuan dalam hal ini selalu dalam posisi sebagai
obyek, apakah dalam status sebagai istri pertama maupun kedua, dan seterusnya.
Kantor
Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dikabarkan akan
merombak sebagian isi dari UU dan PP tentang perkawinan terutama yang
menyangkut masalah poligami. Dari kedua peraturan tersebut akan banyak pasal
yang harus disempurnakan karena tidak sesuai prinsip kesetaraan dan keadilan
jender. Terutama yang berkaitan dengan poligami, yaitu Pasal 3, 4, dan 5, serta
pasal lain yang terkait.
Pasal
3 Ayat 1 dan 2 berbunyi:
(1) Pada
asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri. Seorang wanita "hanya boleh" mempunyai seorang suami.
(2)
Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan".
Pernyataan tersebut kontradiktif, dalam Ayat 1 dikatakan hanya boleh, artinya
mengandung pengertian adanya larangan, tetapi dalam Ayat 2 dikatakan
"Pengadilan dapat memberi izin", atau membolehkan poligami. Dalam
kaidah hukum kalimat tersebut tidak tegas, memiliki pengertian bertentangan
antara satu dengan lainnya.
Oleh
karena itu, tidak bisa dijadikan sebagai pedoman hukum, meskipun pernyataan
pada Ayat 2 itu bersyarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 dan 5.
·
Pasal 4
berbunyi:
Suami
wajib mengajukan pennohonan kepada penga-dilan di daerah tempat tinggalnya dan
pengadilan memberikan izin apabila:
a)
istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b)
istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c)
istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Indikasi
dari ketiga syarat tersebut pengertiannya kurang jelas dan tidak disertai
penjelasan serta pembuktian dari pihak berwenang seperti tim dokter ahli yang
independen yang tidak berpihak, keputusan pengadilan yang ditandatangani
pejabat pengadilan dan sebagainya. Pertanyaannya adalah: bagaimana jika kondisi
tersebut terjadi pada suami, apakah istri dapat melakukan gugatan cerai?. Di
dalam UU dan PP tidak diatur, meskipun di dalam hukum Islam (ficjh/fikih) dikenal
istilah "khulu' yaitu istri berhak memisahkan diri dari suamtnya
dengan memberi ganti rugi karena alasan tertentu, termasuk seperti yang
disebutkan dalam Pasal 4 Ayat 2 .
·
Pasal 5
berbunyi:
Syarat
lain dari poligami:
a)
adanya persetujuan dari istri/ istri-istri.
b) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c)
adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil-terhadap istri-istri dan anak-anak
mereka.
Pada
Sub pasal b dan c, tolak ukumya sangat sulit karena keperluan hidup
seseorang, baik sebagai istri maupun anak- anak, terdiri atas dua komponen yang
tidak dapat dipisahkan, yaitu materi dan nonmateri secara bersamaan.
Begitu
juga pengertian mampu dalam Sub pasal b dan adil dalam Subpasal c, meliputi
material dan nonmaterial. Selama ini, tolok ukumya selalu menurut ukuran suami,
bukan menurut ukuran dan perasaan istri, dan bukan pula kesepakatan kedua belah
pihak.
Siapa
yang bisa menjamin ketika suami melakukan giliran pada istri tua, apakah ia
bisa menghadirkan seluruh jiwa raga, pikiran, khayalan, dan perasaannya, bebas
dari pengaruh istri mudanya? Yang dimungkinkan istri mudanya pasti memiliki
"kelebihan" dibandingkan istri pertama. Jadi hal ini adalah sesuatu yang
sangat tidak mungkin terjadi. Sebagaimana terungkap dalam firman Allah pada (QSAn-Nisaa':129):
"...
.Dan kamu sekali-kali tidak dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu),
walaupun kamu sangat ingin demikian,...."
LBH-Apik
mengusulkan agar praktik poligami dihapuskan sama sekali karena
bertentangan dengan UUD 1945, UU HAM, UU No 1/1984, GBHN 1999, dan Deklarasi
Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Konsekuensinya Pasal 3 ayat 2
dihapuskan, begitu juga Pasal 4 dan 5.
Sementara
Kowani mengusulkan untuk mempersulit • praktik poligami melalui
pasal-pasal tersebut dengarL menambahkan persetujuan tertulis dari istri dan
anak-anaknya yang telah dewasa yang dibuat di hadapan pejabat pengadilan. Suami
menjamin tidak menceraikan istri pertama kecuali atas permintaan yang
bersangkutan dengan tetap mendapat tunjangan hidup dari suami sampai si istri
menikah lagi. Dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan memperketat praktik
poligami melalui Pasal 4 dengan menambahkan syarat harus dengan keterangan
dokter ahli.
Pasal
lain yang perlu disempurnakan adalah Pasal 2 Ayat 2: "Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku". Pengertiannya, semua perkawinan
yang memenuhi syarat sesuai peraturan perun-dangan harus dicatat pihak
berwenang. Bila tidak, secara hukum perkawinannya tidak sah dan pelakunya wajib
dikenai sanksi. Persoalannya, sekali lagi, UUP tidak mencantumkan sanksi.
Semestinya
peraturan mengenai poligami tidak dimasukkan dalam Bab I Dasar Perkawinan
karena poligami bukan prinsip dasar perkawinan maupun prinsip dasar syar'iyyah.
Karena bentuk perkawinan poligami adalah sebagai suatu bentuk perkawinan
pengecualian yang amat sangat darurat (emergency exit}. Oleh karena itu
hendaknya peraturan mengenai poligami harus diatur dalam pasal tersendiri
lengkap dengan sanksi hukumnya. Beraneka ragamnya usulan perubahan UU
Perkawinan yang menyangkut poligami hendaknya tidak menjadi masalah baru dalam
masyarakat.
Mengenai Hak Cerai Bagi Istri
Di
dalam Islam, jika suami merasa dirugikan dengan perilaku maupun kondisi
istrinya, ia berhak menjatuhkan talak. Begitu juga sebaliknya bagi istri, jika
ia merasa dirugikan dengan perilaku dan kondisi suaminya, ia pun dapat
mengajukan 'khulu'.
Khulu dalam
istilah fikih dinamakan juga tebusan karena istri menebus dirinya dari suaminya
dengan mengembalikan emas kawin sebagaimana yang dia terima ketika pernikahan.
Menurut ahli fikih, 'khulu' adalah istri memisahkan diri dari suaminya
dengan ganti rugi kepadanya. (sumber: Sayyid Sabiq, Ficjh Sunnah, Juz 8).
Khulu baru
bisa dilakukan apabila ada alasan yang benar, misalnya suami tidak dapat
memenuhi kewa-jibannya, cacat fisik yang dapat mengganggu kehar-monisan,
perilakunya jelek, dan sebagainya yang dapat mencegah tercapainya tujuan
perkawinan.
Selain
itu 'khulu' dapat terjadi dengan persetujuan atau tanpa persetujuan
suami. Jika tidak tercapai persetujuan antara suami- istri, pengadilan dapat
menjatuhkan khulu kepada suami.
Di dalam
perkawinan poligami maka kaum istri bisa menggugat "cerai" apabila ia
menerima perlakuan tidak adil sebagaimana disyaratkan dalam Al Qur'an, yaitu
suami yang hendak melakukan perkawinan poligami harus mampu bersikap adil
terhadap istri-istri dan anak-anaknya dalam hal pemberian materi dan non materi
(perhatian dan kasih sayang).
Di
manakah peran negara? Sejauh manakah negara dapat mengatur kehidupan keluarga
dan relasi jender?
Bagaimana
dan atas dasar apa negara dapat mengatur hak atas tubuh perempuan, perkawinan,
dan perceraian, serta keinginan perempuan menolak poligami??? Karena tidak ada
satu butir pun di dalam peraturan perundang-undangan perkawinan yang memberikan
hak bagi istri atau perempuan untuk "menolak atau menentang"
perkawinan poligami yang dilakukan suami (yang dilakukan secara diam-diam tanpa
persetujuan istri pertama).
Pada
UU Nomor 1 Tahun 1974, hanya menjelaskan hak suami untuk memiliki pasangan
hidup lebih dari satu (poligami)? Untuk menjawab hak-hak dan per-lindungan kaum
perempuan diharapkan pemerintah mampu menjawabnya dalam kebijakan atau
peraturan perundang-undangan yang baru mengenai perkawinan dan poligami,
sehingga tidak ada kesenjangan kodrat yang merendahkan martabat perempuan
sebagai symbol seksual dalam kehidupan perkawinan. Diharapkan peratuaran ketat
perkawinan ini akan menghanguskan kasus perselingkuhan yang marak terjadi
ditengah masyarakat, terutama di kalangan public dan pemimpin. eksekutif,
legislatif, dan pemuka agama.
Kita
harap pemerintah dapat memberikan perlin-dungan bagi perempuan dan istri-istri
untuk memberikan hak tolaknya terhadap perkawinan poligami apabila ia
menemukan kasus suami melakukan perkawinan poligami secara diam-diam,
menelantarkan anak istri dan melakukan tindak kekerasan di dalam rumah tangga.
Tabel
Kasus Perceraian Akibat Poligami Tidak Sehat di Pengadilan Tinggi Agama Seluruh
Indonesia (1996-2001)
Tahun
|
Jumlah kasus
|
Akibat
Poligami Tidak Sehat
|
Prosentase
Perceraian akibat poligami (%)
|
Propinsi
tertinggi jumlah perceraian akibat poligami
|
1996
|
97.356
|
519
|
0,53
|
104(Jatim)
|
1997
|
67.894
|
705
|
1,04
|
396 (Jabar)
|
1998
|
103.416
|
590
|
0,53
|
108(Jatim)
|
1999
|
183.805
|
828
|
0,45
|
403 (Jabar)
|
2000
|
145.609
|
875
|
0,60
|
385 (Jabar)
|
2001
|
145.081
|
938
|
0,62
|
261
(Jabar)
|
Angka tertinggi kasus perceraian teriadi di wilayah Jawa Barat
(Jabar) pada tahun 1999 dengan jumlah kasus 183.805 dan perceraian akibat
poligami sebanyak 403 orang istri yang menguggat cerai suami karena tidak rela
dimadu.
(Sumber: Direktorat
Pembinaan Peradilan Agama Depag RI)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Poligami telah dikenal jauh sebelum Islam, bahkan telah menjadi tradisi
yang kuat di berbagai masyarakat dunia, termasuk dalam masyarakat Arab.
Poligami sebelum Islam mengambil bentuk yang tak terbatas.
·
Dalam agama
Islam poligami hukumnya mubah. Sebenarnya poligami tidak berasal dari agama
Islam, hanya saja Islam memperbolehkan. Dalam Islam poligami hanya
diperbolehkan maksimal empat orang istri, selebihnya tidak boleh.
·
Poligami lebih
baik daripada selingkuh, karena selingkuh berarti berzina dan itu hukumnya
haram.
·
Poligami
diperbolehkan jika istri sakit-sakitan, lemah, mandul, dan istri mengidap
penyakit menular.
3.2 Saran
Hendaknya
kita lebih hati-hati dalam mempelajari Islam. Belajarlah Islam sepenuhnya,
jangan setengah-setengah atau ikut-ikutan saja. Karena jika sampai salah, maka
kita bisa terjebak tanpa kita sadari.
DAFTAR PUSTAKA
Eni, Setiati,
Dra. 2007. Hitam Putih Poligami. Jakarta : Cisera Publishing.
Mulia, Siti Musdah. 2007. Islam Menggugat
Poligami. Jakarta : Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar